Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kasus 27 Juli yang Tergadaikan demi Politik 'Transaksional' Megawati
Pemerintah terlebih-lebih ketika Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden, enggan dan malu-malu untuk bertindak tegas terhadap pelaku kejahatan 27 Juli
Editor: Malvyandie Haryadi
PENULIS: PETRUS SELESTINUS/ MANTAN KUASA HUKUM MEGAWATI SOEKARNOPUTRI DALAM PERISTIWA 27 JULI & KOORDINATOR TPDI
TRIBUNNERS - Tanggal 27 Juli 2016 yang jatuh pada hari ini Rabu, merupakan hari ulang tahun peristiwa 27 Juli 1996 yang ke 20 dan sekaligus merupakan hari dimana 20 (dua puluh) tahun mandegnya penyidikan kasus 27 Juli.
Sebuah usia penyidikan yang tidak normal, tidak masuk dalam akal sehat publik dan tidak seharusnya terjadi di era reformasi karena peristiwa 27 Juli merupakan cikal bakal lahirnya reformasi.
Mari kita mencermati dan membandingkan rentetan peristiwa politik yang terjadi pasca PDIP menjadi Partai Politik yang berkuasa pada 5 (lima) tahun pertama reformasi dan berkuasa lagi pada 10 (sepuluh) tahun kemudian (2014).
Bandingkan antara deraian air mata Megawati Soekarnoputri ketika berpidato mengenang peristiwa 27 Juli dan dengan suara lantang menyatakan bahwa PDIP akan tetap menuntut secara hukum pelaku peristiwa 27 Juli, dengan dukungannya kepada Sutiyoso dan Tri Tamtomo dalam pencalonan mereka di Pilkada DKI dan Sumut.
Demikian jelas bahwa bahwa Megawati dan DPP PDIP telah menjalakan praktek "politik paradoks" dan "tidak satunya kata dan perbuatan", yang telah melahirkan anomali politik dan membawa akibat buruk berupa "matinya hukum".
Akibatnya membawa kasus 27 Juli sebagai tergadaikan dan tetap menjadi hutang negara terhadap rakyat.
Semua orang tahu bahkan sudah menjadi pengetahuan umum masyarakat, bahwa, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso dan Mayjen TNI (Purn) Tri Tamtomo, keduanya masih berstatus sebagai tersangka sejak tahun 2001 hingga sekarang.
Keduanya diduga sebagai pelaku yang turut serta terlibat dalam peristiwa pidana 27 Juli 1996.
Namun mengapa Megawati Soekarnoputri memberikan hak previllage kepada kedua Jenderal TNI Purnawirawan tersebut melalui PDIP dengan mengorbankan rasa keadilan publik.
Dengan demikian maka tidak ada kata lain yang tepat untuk dikatakan kepada Megawati Soekarnoputri selain kata politik anomali dan politik paradoks Megawati Soekarnoputri telah mengalahkan akal sehat publik dan rasa keadilan publik.
Kita tahu bahwa peristiwa 27 Juli 1996 adalah sebuah tragedi politik yang bukan saja mencederai prinsip-prinsip negara hukum dan HAM di era Orde Baru.
Insiden itu bukan hanya persoalan ketidakadilan dalam proses hukum atas 124 (seratus dua puluh empat) orang pendukung, simpatisan PDI Pro Megawati Soekarnoputri yang ketika itu dituduh menduduki Kantor PDI Pro Soerjadi.
Akan tetapi lebih dari itu peristiwa 27 Juli adalah merupakan cikal bakal lahirnya reformasi dan tumbangnya kekuasaan Orde Baru.
Namun demikian, meskipun Orde Baru sudah ditumbangkan dan lahirlah Reformasi, akan tetapi sisa-sisa kekuatan Orde Baru masih memperlihatkan eksistensinya bahkan sangat menonjol dalam berbagai bidang kehidupan sejak awal reformasi hingga sekarang.
Salah satu contohnya adalah masih bercokolnya mantan-mantan pejabat Orde Baru dalam pemerintahan saat ini.
Realitas ini merupakan sebuah pembangkangan terhadap cita-cita perjuangan reformasi, terutama oleh Megawati Soekarnoputri ketika masih menjadi Presiden RI menggantikan Presiden Gus Dur.
Penanganan kasus 27 Juli mengalami macet total, karena Pemerintah terlebih-lebih ketika Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden, enggan dan malu-malu untuk bertindak tegas terhadap pelaku kejahatan 27 Juli.
Padahal publik tetap menuntut agar kasus 27 Juli tetap diselesaikan secara hukum, mengingat kasus 27 Juli bukan persoalan pribadi Megawati Soekarnoputri dan bukan hanya persoalan antara DPP PDIP dengan Soerjadi dkk.
Namun lebih daripada itu kasus 27 Juli adalah produk dari sebuah gerakan perlawanan rakyat bersama melawan kekuasaan otoriter Orde Baru yang menuntut segera lahirnya perubahan melalui reformasi.
Karena itu kasus 27 Juli bukan milik pribadi Megawati Soekarnoputri, tetapi adalah milik publik dimana tanggung jawab sosial dan politik berada di pundak Megawati Soekarnoputri dan DPP PDIP.
PDIP dan Megawati Soekarnoputri justru secara langsung atau tidak langsung selama ini menjadi faktor utama menghambat secara politik jalannya proses hukum.
Sebab lebih mengambil sikap memberikan toleransi yang berlebihan berupa memberikan privillage dan perlindungan secara politik kepada beberapa Tersangka, terutama dari unsur TNI/POLRI yang diduga sebagai pelakunya.