Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menjadi Neoliberal Sejati
Presiden Joko Widodo melakukan perombakan personalia yang kjedua Kebinet Kerja.
Editor: Rachmat Hidayat
Jika di AS kerisauan tentang ketimpangan ekonomi mendera seluruh lini kehidupan sosial, dan sebenarnya AS sejak 1970 gagal mencapai pemulihan ekonomi sebagaimana Robert J Gordon menulis, maka pilihan kebijakan ekonomi berkiblat ke AS bukanlah jawaban untuk memenuhi janji Trisakti dan Ekonomi Konstitusi.
Yang patut dicatat, Sri Mulyani meninggalkan jabatannya dengan prestasi Gini rasio 0,41, yang berarti situasi perekonomian telah melahirkan ketimpangan dan lampu kuning mulai menyala.
Presentasi saya di berbagai lembaga dan kementerian membuktikan, situasi perekonomian telah membuahkan konflik sosial secara vertikal dan horisontal yang terus meningkat baik dari segi jumlah maupun kualitas.
Pembatalan 3114 Perda oleh Presiden Joko Widodo baru-baru ini salah satunya merupakan bukti upaya mengatasi meluasnya konflik vertikal secara formal, sebagaimana saya presentasikan di Lemhanas
pada tahun 2012.
Dari sisi lain, kehadiran Sri Mulyani sebagai Menkeu saat ini juga mengindikasikan bahwa kasus Bank Century terkubur.
Kewenangan Mahkamah Agung mengadili sendiri kasus itu telah berbuah menyakitkan bagi Budi Mulya dan keluarga sementara menghadirkan ketenangan bagi Boediono, Sri Mulyani, Darmin Nasution, Mulyaman Hadad, Raden Pardede dan kawan-kawan.
Nampaknya di balik kehadiran Sri Mulyani, terdapat pesan bahwa Kabinet Kerja memberi peluang besar bagi kekuatan Barat dan kekuatan politik dalam negeri tertentu.
Peluang ini memberi jalan bagi Sri Mulyani mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai Capres 2019. Pesan lainnya adalah, kebijakan yang diterbitkan kendati merugikan negara menurut lembaga peradilan, disikapi sebagai tidak bisa dipidanakan.
Sikap ini konsisten dengan kebijakan sebelumnya bahwa hak diskresi tidak bisa dipidanakan.
Sementara tergusurnya Rizal Ramli menggelar fakta bahwa jika ingin menjadi menteri jangan pernah menunjukkan sikap bertentangan dengan Barat, Konglomerat dan kekuatan politik nasional tanpa bentuk.
Paling tidak, selama Rizal Ramli menjadi Menko, dia dituding gaduh soal mafia pengadaan pesawat Air Bus untuk PT Garuda, mafia PLN khusus proyek 35 GW, Blok Masela, dan kasus reklamasi.
Rizal bukan hanya berseberangan dengan Wapres Jusuf Kala, tetapi juga dengan pribadi-pribadi yang menjalankan kepentingan konglomerasi dan kepentingan Barat serta kekuatan bisnis dan politik yang mendanai Pilpres, sebagaimana pernyataan Ahok.
Sedangkan dipertahankannya Rini Soemarno sebagai Meneg BUMN menunjukkan betapa Joko Widodo percaya diri menghadapi kekuatan partai-partai di DPR.