Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menjadi Neoliberal Sejati
Presiden Joko Widodo melakukan perombakan personalia yang kjedua Kebinet Kerja.
Editor: Rachmat Hidayat
Oleh Dr Ichsanuddin Noorsy
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA- Setelah gagal mengatasi gejolak melambannya perekonomian nasional yang memburuk namun tegar menghadapi vonis Pansus Pelindo II pada Desember 2015, Presiden Joko Widodo melakukan perombakan personalia yang kedua Kebinet Kerja.
Kembalinya Sri Mulyani Inderawati sebagai Menkeu, lalu Tom Lembong sebagai Ketua BKPM yang mengeliminasi Franky Sibarani, Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian yang menggantikan Saleh Husin.
Enggartiasto Lukita sebagai Menteri Perdagangan yang menggeser Tom Lembong dan bertahannya Rini Soemarno sebagai Meneg BUMN mengindikasikan, kiblat kebijakan ekonomi kembali ke Barat.
Sikap dasar kebijakan ini konsisten dengan 12 paket kebijakan ekonomi sebelumnya yang tidak membuahkan iklim perekonomian menggairahkan dan gagal mengatasi ketimpangan. Sementara efektivitas UU Tax Amnesty masih diragukan keberhasilannya.
Dalam situasi ekonomi AS dan Uni Eropa menuju resesi, juga situasi ekonomi RRC yang melamban, sementara Jepang memberlakukan suku bunga negatif.
Maka model kebijakan ekonomi yang dipilih melalui para tokoh tersebut bisa diyakini berpijak pada neoliberal sejati.
Artinya, liberalisasi perekonomian akan berjalan tanpa hambatan dan meningkat sebagaimana kebijakan yang telah diterbitkan, peran swasta yang makin kukuh dalam penyediaan hajat hidup orang banyak.
Dan kebijakan membatasi belanja anggaran untuk penyediaan kebutuhan sosial pun akan makin menjadi pedoman sakral.
Tetapi tidak berarti tesa yang saya bangun bahwa Indonesia sebagai kancah pertempuran ekonomi AS dan RRC akan menyurut.
Benar bahwa kehadiran Sri Mulyani, Tom Lembong, Airlangga Hartarto, Bambang Brodjonegoro sebagai Kepala Bappenas, dan Enggartiasto Lukita akan menginjeksi semangat baru pergerakan ekonomi nasional.
Tetapi semangat dan gairah ini justru mengindikasikan bahwa jalur kebijakan keuangan tetap dikendalikan Barat sementara jalur perdagangan dan infrastruktur akan didominasi RRC.
Situasi ini mungkin merupakan terjemahan ekonomi politik luar negeri yang bebas aktif. Tetapi kenyataan menunjukkan keberpihakan kepada Barat, tepatnya kepada AS tetap konsisten dilakukan.
Guna mencapai target, maka yang terpenting adalah kinerja pertumbuhan ekonomi bertengger 5,2 persen, tanpa peduli bagaimana kualitas dan siapa pemilik pertumbuhan ekonomi itu.
Jika di AS kerisauan tentang ketimpangan ekonomi mendera seluruh lini kehidupan sosial, dan sebenarnya AS sejak 1970 gagal mencapai pemulihan ekonomi sebagaimana Robert J Gordon menulis, maka pilihan kebijakan ekonomi berkiblat ke AS bukanlah jawaban untuk memenuhi janji Trisakti dan Ekonomi Konstitusi.
Yang patut dicatat, Sri Mulyani meninggalkan jabatannya dengan prestasi Gini rasio 0,41, yang berarti situasi perekonomian telah melahirkan ketimpangan dan lampu kuning mulai menyala.
Presentasi saya di berbagai lembaga dan kementerian membuktikan, situasi perekonomian telah membuahkan konflik sosial secara vertikal dan horisontal yang terus meningkat baik dari segi jumlah maupun kualitas.
Pembatalan 3114 Perda oleh Presiden Joko Widodo baru-baru ini salah satunya merupakan bukti upaya mengatasi meluasnya konflik vertikal secara formal, sebagaimana saya presentasikan di Lemhanas
pada tahun 2012.
Dari sisi lain, kehadiran Sri Mulyani sebagai Menkeu saat ini juga mengindikasikan bahwa kasus Bank Century terkubur.
Kewenangan Mahkamah Agung mengadili sendiri kasus itu telah berbuah menyakitkan bagi Budi Mulya dan keluarga sementara menghadirkan ketenangan bagi Boediono, Sri Mulyani, Darmin Nasution, Mulyaman Hadad, Raden Pardede dan kawan-kawan.
Nampaknya di balik kehadiran Sri Mulyani, terdapat pesan bahwa Kabinet Kerja memberi peluang besar bagi kekuatan Barat dan kekuatan politik dalam negeri tertentu.
Peluang ini memberi jalan bagi Sri Mulyani mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai Capres 2019. Pesan lainnya adalah, kebijakan yang diterbitkan kendati merugikan negara menurut lembaga peradilan, disikapi sebagai tidak bisa dipidanakan.
Sikap ini konsisten dengan kebijakan sebelumnya bahwa hak diskresi tidak bisa dipidanakan.
Sementara tergusurnya Rizal Ramli menggelar fakta bahwa jika ingin menjadi menteri jangan pernah menunjukkan sikap bertentangan dengan Barat, Konglomerat dan kekuatan politik nasional tanpa bentuk.
Paling tidak, selama Rizal Ramli menjadi Menko, dia dituding gaduh soal mafia pengadaan pesawat Air Bus untuk PT Garuda, mafia PLN khusus proyek 35 GW, Blok Masela, dan kasus reklamasi.
Rizal bukan hanya berseberangan dengan Wapres Jusuf Kala, tetapi juga dengan pribadi-pribadi yang menjalankan kepentingan konglomerasi dan kepentingan Barat serta kekuatan bisnis dan politik yang mendanai Pilpres, sebagaimana pernyataan Ahok.
Sedangkan dipertahankannya Rini Soemarno sebagai Meneg BUMN menunjukkan betapa Joko Widodo percaya diri menghadapi kekuatan partai-partai di DPR.
Merujuk UU 17/2004 pasal 74, Presiden Joko Widodo wajib menindak lanjuti keputusan Pansus Pelindo II yakni memberhentikan Rini Soemarno sebagai Meneg BUMN.
Hingga perombakan struktur personalia Kabinet Kerja berlangsung, Rini Soemarno tetap pada jabatannya. Sementara sejumlah personalia yang direkomendasikan PDIP duduk sebagai Menteri di Kabinet Kerja tidak dicopot atau digeser.
Ini berarti, Joko Widodo mendengar kehendak politik partai berkuasa tapi juga tidak mengabaikannya dan tidak gentar menghadapi potensi munculnya Hak Menyatakan Pendapat oleh DPR tentang keputusan Pansus Pelindo II.
Dalam konteks keberadaan Rini Soemarno, kepentingan Joko Widodo berbeda dengan kepentingan PDIP. Sedangkan dalam konteks mempertahankan sejumlah tokoh tetap sebagai menteri yang tokoh-tokoh itu berasal dari usulan PDIP, Joko Widodo memiliki pertimbangan tersendiri.
Yang terpenting, apakah perombakan kabinet kali ini mampu membangun harapan segar pada iklim perekonomian berbasis konstitusi ? Sayangnya saya menjawab tidak.
Menggunakan istilah New York Times dalam masalah sistem keuangan dan penyelundupan manusia sebagai pekerja kasar di lingkup internasional, Indonesia sudah terperangkap dalam sistem perbudakan modern.
Hal ini tidak akan sanggup di atasi kabinet hasil perombakan ke dua, karena Kabinet Kerja sendiri sudah memilih deregulasi dan debirokratisasi sebagai wujud liberalisasi perekonomian.
Kabinet Kerja sudah menetapkan bahwa kebijakan ekonominya adalah kebijakan ekonomi terbuka walau konstitusi tidak menghendaki seluruhnya terbuka.
Hasilnya, Indonesia sedang mengikuti tapak perjalanan perekonomian yang gagal mengangkat harkat martabat bangsa. Maka perombakan struktur personalia kabinet kali ini pun tidak memberi makna mendasar bagi tegaknya kedaulatan ekonomi nasional.
Hal ini memberi petunjuk, saat neoliberal makin sejati, maka dominasi konglomerasi nasional dan internasional akan berjalan seperti biasa dengan kecendrungan menguat di tengah rakyat jelata tidak mengerti bagaimana mengangkat harga dirinya.
Adakah amanah Kata Pembukaan UUD 1945 dilaksanakan, sebagian kebijakan sudah menjawabnya, sebagian lagi waktu yang akan membuktikannya.