Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Perempuan Disabilitas Punya Hak yang Sama Dalam Pendidikan
Teriknya matahari di kota Daeng ini tak serta merta membuat saya urung melaksanakan tugas. Api semangat yang berkobar-kobar memudahkan langkah saya un
Ditulis oleh : Risya Rizky Nurul Qur’ani
TRIBUNNERS - Teriknya matahari di kota Daeng ini tak serta merta membuat saya urung melaksanakan tugas. Api semangat yang berkobar-kobar memudahkan langkah saya untuk menemui beberapa narasumber yang tentu berkompoten dalam hal ini.
Semua ini bermula ketika panitia AJI Makassar memilih TOR saya yang mengangkat tentang isu ketidakadilan gender dalam pendidikan para perempuan disabilitas. Saya memilih isu ini tentu tak sembarang melainkan hal ini seringkali meresahkan hati dan pikiran saya.
Saat saya melakukan wawancara kepada Kepala SLB A YAPTI, Marhani D dengan mudah saya menangkap antusias dan harapan besar dari beliau mengenai masa depan para murid perempuan SLB A YAPTI.
Dengan bangga beliau mengatakan bahwa sebagian para murid perempuan SLB A YAPTI telah berhasil menembus tingkat pendidikan universitas, seperti Universitas Hasanuddin, Universitas Negeri Makassar, dan Universitas Muhammadiyah Makassar.
Hal ini menunjukkan kepada masyarakat dan mematahkan asumsi kental mereka yang selalu menganggap para perempuan disabilitas tak berdaya dan tak berkualitas di tengah masyarakat.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Nur Syahida, Kepala SLB YUKARTUNI bahwa beliau bangga sebab alumni perempuan dari yayasannya dapat menembus tingkat pendidikan universitas, seperti Universitas Hasanuddin dan Universitas Muslim Indonesia, melumpuhkan stigma miring masyarakat sekitar yang selalu menganggap paradisabilitas merupakan sebuah kesialan sebab pada tahun-tahun sebelumnya para sebagian besar supir angkot pun tidak sudi mengangkut para disabilitas.
Bahkan, seorang perempuan disabilitas netra, Sherly kini telah mengabdikan dirinya sebagai guru di SLBnya dahulu, yaitu SLB A YAPTI.
Sementara itu, seorang perempuan disabilitas daksa, Yuli juga telah mengabdikan dirinya sebagai operator dan guru pengganti di Yayasan Penyandang Anak Cacat(YPAC) Makassar.
Fakta ini membuka mata masyarakat bahwa perempuan disabilitas mampu mandiri dan berpendidikan tinggi sebab sejatinya mereka memang layak dan perlu memperolehnya.
Sayangnya fakta di atas belum mampu lepas sepenuhnya dari paradikma sebagian masyarakat Makassar sekalipun mereka tergolong orang-orang yang berpendidikan tinggi.
Untuk memasuki sebuah sekolah ingklusi pun kemampuan para disabilitas seringkali diragukan bahkan terjadi penolakan.
Sebagian besar masyarakat belum menyadari bakat-bakat yang dimiliki para perempuan disabilitas dibalik keterbatasan mereka dan masyarakat juga tak memahami bahwa betapa penting dan berharganya sebuah nilai pendidikan bagi para disabilitas, khususnya para perempuan disabilitas.
Di samping itu, bukankah dalam UUD no. 19 tahun 2011 menyatakan dengan jelas hak-hak para disabilitas.