Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Full day school Harus Mempertimbangkan Sarana Guru dan Pembiayaan
Pascaperombakan kabinet jilid kedua di era pemerintahan presiden Joko Widodo, semua kementrian di bawah komando menteri barunya, melakukan berbagai p
Penulis: Cepi Sapta Maulana
TRIBUNNERS - Pascaperombakan kabinet jilid kedua di era pemerintahan presiden Joko Widodo, semua kementrian di bawah komando menteri barunya, melakukan berbagai perubahan.
Kementrian pendidikan dan kebudayaan adalah salah satunya. Di bawah kepemimpinan Muhadjir Effendy, kemedikbud langsung mencanangkan rencana program full day school bagi jenjang sekolah dasar dan menengah.
Pro kontra pun muncul, banyak pihak yang mendukung namun tak sedikit pula yang menentang.
Sebenarnya full day school ini bukan hal baru di ranah dunia pendidikan Indonesia.
Sejak era reformasi, banyak sekolah-sekolah swasta yang menawarkan program full day school. Pihak sekolah pun memungut iuran lebih tinggi dari sekolah-sekolah lain pada umumnya.
Dengan jam sekolah dari pagi sampai sore hari serta kegiatan yang jelas, banyak orangtua yang berkecukupan memilih menyekolahkan anaknya di sekolah yang menawarkan program tersebut.
Dengan alasan yang sering ditemui “agar anak terkontrol”.
Bila dilihat dari sudut pandang orang tua, alasan tersebut memang ada benarnya. Bagaimanapun orangtua selalu mempunyai kekhawatiran dan memilih menitipkan anaknya di sekolah sepanjang hari.
Namun begitu orang tua, harusnya selektif memilih sekolah yang memang mempersiapkan program full day school-nya secara baik.
Baik dalam programnya, fasilitas, dan guru sebagai ujung tombaknya. Tak terbayang hasilnya jika program ini dilaksanakan di sekolah yang kurang baik dalam merancang programnya, fasilitas minim, dan guru yang belum siap.
Setidaknya, pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud menerapkan SOP bagi sekolah yang akan menerapkan program full day school.
Diantara standar itu harus melihat aspek kematangan program, kelayakan fasilitas, kemampuan guru dan pembiayaan.
Aspek kematangan program dibuat agar sekolah yang melaksanakan full day school memiliki program yang baik dan terencana.
Jangan sampai isi dari program itu hanya penambahan jam pelajaran.
Tak bisa dibayangkan jadinya jika siswa terutama siswa pada jenjang pendidikan dasar berkutat dengan buku pelajaran, pensil dan penghapus di sekolah dari pagi sampai sore. Banyak program selain mata pelajaran yang bisa disiapkan sebagai pengisi jam kosong tersebut.
Diantara program non mata pelajaran adalah program pengembangan minat dan bakat atau sering disebut ekstrakurikuler.
Namun, jenis ekskur yang disediakan juga harus disesuaikan dengan kondisi siswa berdasarkan jenjang pendidikannya.
Kemudian program komunikasi dengan orang tua juga sangat penting, secara teknis dan medianya. Pengawasan siswa juga harus diperhatikan mulai dari jam ekstrakurikuler dan yang paling rawan adalah kepulangan.
Aspek kedua yaitu kelayakan fasilitas.
Full day school berarti memindahkan kehidupan dari rumah ke sekolah. Kenyamanan siswa yang didapatkan di rumah setidaknya bisa siswa dapatkan di sekolah, walaupun tidak bisa menjadi rumah yang sesungguhnya.
Seperti makan siang. Makan siang memang harus disediakan karena itu adalah hak dari siswa yang harus didapatkan di full day school.
Fasilitas catering setidaknya harus ada di setiap sekolah yang melaksanakan program full day school.
Fasilitas MCK itu juga kebutuhan. Banyak sekolah di negeri ini yang memiliki toilet yang tidak layak bahkan tidak ada sama sekali. Playground atau arena bermain untuk jenjang sekolah dasar. Karena bagaimanapun siswa mempunyai hak untuk bermain.
Aspek ketiga guru yang berkualitas, Full day school bukan hanya melibatkan siswa tapi melibatkan juga guru. Guru untuk full day school harus benar-benar guru yang Ikhlas.
Ikhlas mengajar, ikhlas membimbing, serta ikhlas mendampingi siswa sampai akhir sekolah di sore hari.
Guru harus siap menjadi orang tua pengganti di sekolah, mengawasi dan melayani dengan penuh kasih sayang. Guru yang harus ikhlas merelakan keluarganya terabaikan.
Guru yang harus siap dengan honor seadaanya. Dalam hal ini sering kesejahteraan guru terabaikan. Faktanya tidak semua sekolah full day yang sudah berjalan dapat membayar gurunya dengan hak penuh.
Ada sekolah full day yang membayar gurunya kurang dari 1.500.000/bulan bahkan ada yang kurang dari itu.
Hal ini sangat berdampak tidak baik pada kesejahteraan guru dan resiko yang ditanggungnya.
Terlebih guru-guru di full day school sangat terbebani dengan berbagai program dari sekolah dan program pengembangannya. Full day school benar-benar harus menyiapkan para guru yang benar-benar bisa bekerja di bawah tekanan.
Apalagi jika kita melihat guru-guru PNS sekarang yang sudah nyaman dengan jam kerjanya. Tentu memerlukan penyesuaian lagi untuk mendapatkan kenyamanan itu.
Akhirnya pada aspek yang terakhir semuanya bermuara. Aspek program, fasilitas dan guru ketiganya bermuara pada satu aspek yaitu pembiayaan. Bagaimanapun ketiga aspek itu tidak akan berjalan tanpa aspek pembiayaan, terutama aspek fasilitas dan honor guru yang tentunya sesuai dengan jam kerjanya.
Jangan sampai sekolah full day hanya memiliki fasilitas seadanya sehingga mengabaikan banyak hak siswa hilang dan terabaikan.
Serta hak guru yang sampai sekarang –sebelum adanya fullday school masih menjadi masalah, apalagi ditambah jam kerjanya.
Jangan sampai guru seperti buruh dalam hal kesejahteraannya. Bagaimanapun tanpa guru sekolah adalah sebuah instansi mati. Bersyukur di negara kita masih banyak guru yang ikhlas untuk mengabdi mencerdaskan anak bangsa.
Semoga wacana full day school ini berjalan dengan lancar, dan dengan memperhatikan beberapa aspek di atas tadi. Pada akhirnya, semoga apapun yang kita lakukan bisa membawa kita menjadi bangsa yang lebih baik dan maju.