Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mencari Kemerdekaan di Hari Jadi Republik Indonesia
Hari ini saatnya mengenang sesaat kemerdekan atas penindasan serta kekejaman kolonial yang kala itu menghilangkan hak hak rakyat untuk hidup berdaulat
Ditulis oleh : Baikuni Alshafa, Citizen Journalist Jawa Timmur
TRIBUNNERS - Hari ini saatnya mengenang sesaat kemerdekan atas penindasan serta kekejaman kolonial yang kala itu menghilangkan hak hak rakyat untuk hidup berdaulat.
Negeri ini meraih kemerdekaan tepat hari ini pada bulan Agustus 1945 dalam lingkar kehidupan kerakyatan yang meraihnya bersama untuk mengusir penjajah kolonial.
Hari ini bila merindu mencari kemerdekaan sudah tiba saatnya kemerdekaan untuk semua rakyat. Satu tanah air, satu bangsa yang tersebar pulau pulau kemaritiman yang mampu menghiasi keagungan alamnya.
Kemerdekaan negeri ini mencari untuk menemui arah babakan sejarah panjang yang hingga kini belum pasti. Rakyat yang butuh kemakmuran dan keadilan yang hadir hanya keabsurdan.
Kemerdekaan sejati adalah pilar dari sebuah kedaulatan, yang memiliki makna kehidupan kebangsaan dengan kesetaraan yang bersandingan dengan kedamaian dan kesejahteraan.
Negeri yang merdeka ini seolah kembali dalam lingkar kehidupan rakyat yang semakin pelik melilit kesukaran untuk hidup layak.
Darah rakyat hingga harus terbakar untuk kembali bersatu meraih persatuan dan kesatuan negeri yang berdaulat secara ekonomi politik, dalam bangsa yang besar serta kemerdekaan yang sejati.
Apakah tepat jika kemerdekaan ini hanya diperingati dengan budaya perlombaan hingar bingar. Jelas tidak, karena bangsa ini hadir tidak untuk diperlombakan dan serta tertawaan semu yang sesaat, ketika usai akan kembali meringkik lesu untuk mencapai kehidupan layak.
Dari yang tua hingga yang muda mudi, tak mengenal usia berapa, namun hanya untuk menggapai sebuah kemerdekaan sesaat dengan euforia perlombaan dan rutinitas peringatan.
Namun kemerdekaan untuk hidup layak tak kunjung didapat oleh sebagian besar rakyat. Hingga dalam konteks kemerdekaan berfikir, berpendapat, dan bertindak pun sangat mudah ditemui intimidasi dengan ragam tindakan.
Setiap menjelang peringatan hari besar nasional, suara-suara terdengr dari kota hingga pelosok negeri tak luput dari penghormatan dan peringatan.
Dari setiap kalangan turut menyambut riang gembira, dihari momentual ini yang sering disebut "Hari Proklamasi Kemerdekaan".
Dari sudut kota, sampai pusat kota tak luput siar akan kegigihan para pejuang, untuk dikenang, namun hanya mengenang.
Tanda itu dibumbui dengan hiasan-hiasan perkampungan, serta di desa-desa tersulap cerah sahut sahutan lampu kerlap kerlip yang setiap malam bak kunang-kunang terlihat indah dari kejauhan, tak luput serta hiasan warna warni bendera umbul umbul membalut disetiap pinggiran jalan, untuk mengiringi kirab berbagai jenis budaya yang diperagakan, bak pahlawan bersama simbol-simbol kemerdekaan yang siap dipertontonkan.
Tak ketinggalan, pelosok desa sontak serentak menjadikan perkampungan meriah, konvoi kirab parade budaya, dengan beragam jenis tontonan dari musik dangdut hingga keroncongan, untuk hanya memperingati tanpa menyadari kenyataan negeri ini.
Entah, apakah mereka menyadari atau tidak makna peringatan kemerdekaan tersebut, atau hanya euforia sesaat, hingga seruan setiap orang tersemat girang memeriahkannya.
Atau hanya sisa budaya penguasa orba yang mengakar, sebagai peredam saat itu untuk pembangkit nasionalisme yang tanpa arah, asalkan memperingati dan mengikuti tanpa alasan yang jelas sehingga kepuasaan itu hadir hanya sesaat ketika mendapatkan hadiah dalam lomba "Agustusan".
Dari setiap level penguasa kota hingga pelosok desa, dari yang duduk di pemerintahan pusat hingga pemerintahan bawah, semua menjalankan budaya tersebut.
Inikah kemerdekaan yang sejati
Namun kesejahteraan dan kemerdekaan secara ekonomi politik negeri ini masih dijajah penguasa modal yang setiap saat akan mencekik, hingga tak jarang mendengar keluhan setiap pemuda pemudi yang antri di meja tuan dengan berseru susahnya mendapatkan pekerjaan layak.
Ibarat lagu populer berjudul "Sarjana Muda" yang antri dimeja tuan polan, kata Bang Iwan yang tak setajam dulu lantunan lagu kritikannya.
Berangsur-angsur buruh di PHK (tepat di bulan Agustus buruh transportasi PT Selog Indonesia di PHK dari pekerjannya). Belum lagi nilai tukar Rupiah yang tak kunjung menemukan obatnya, akibat melemahnya perekonomian.
Sedangkan di parlemen dan pemerintahan hanya menjadi tontonan usang yang setiap pendengar dan penontonnya dibuat bingung, melesu oleh perilaku elit politiknya yang secara terang-terangan berlangsung melakukan perkawinan silang menyilang, sehingga genetiknya pun tak jelas asalnya, bahkan saling mengangkangi dengan keburaman ideologi partai partai politik itu, sehingga hanya terang sejelas-jelasnya bagi kepentingan penguasa modal yang tersusupi disetiap tubuh partai tersebut.
Tidak hanya disitu kelesuan negeri ini, dalam akses pendidikan yang susah dengan meroketnya jangkauan harga DPP dan SPP, UKT yang lambat laun semakin mahal hingga rakyat miskin dan anak-anak buruh tani tak mampu mengakses pendidikan layak yang demokratis dan ilmiah.
Sehingga bapak Oemar Bakri menangis tak ada penerus, dan penciptaan seperti "Guru Oemar Bakri" tak didapat lagi dimasa kekinian ini. Lagi-lagi lantunan lagu Bang Iwan Fals menjadi buram mengabur jika dibenturkan dengan kenyataan pendidikan negeri ini.
Jaminan sosial yang diperdagangkan bebas, bersama peluh-peluh buruh tani yang diperas menjadi korbannya. Negara hilang ditelan penguasa korup yang semakin marak berjamuran.
Perampasan tanah rakyat bertebaran di berbagai pelosok negeri (baru-baru ini di Medan rakyat bentrok dengan TNI AU), yang tak henti-henti dilancarkan, bersama buldoser raksasa yang siap menakuti, menggilas rakyat di setiap titik penghalangnya. Hingga wartawan pun dibungkam untuk hanya memberi kabar.
Ditambah dengan banyaknya manipulasi dan permainan pasar, barang-barang pokok naik melambung tinggi sehingga kebutuhan dapur susah menjawab perut rakyat miskin.
Alih-alih operasi pasar, hanya merugikan pedagang kecil dan akan menguntungkan pengusaha importir yang memonopoli pasar, sehingga negeri ini hanya menjadi medan tempur persaingan pasar komoditi.
Inikah kemerdekaan, jika rakyatnya dipertaruhkan setiap kepala oleh hutang negara yang tak kunjung tuntas, sampai sang kepala negara mengemis dalam forum-forum internasional untuk mendatangkan investor kelas kakap.
Sumber kekayaan alam negeri, dibagi-bagikan pada para investor, pendulang kekayaan, memperbesar kantong-kantong bos. Layaknya roti empuk siap saji dibagi-bagi.
Rakyat mau berteriak pun tak bisa untuk menahan lapar, tangisan anak anak kecil yang tak mampu menjangakau mahalnya gizi dan susu, rakyat di setiap pelosok negeri menjerit kesusahan akses kesehatan dan kesejahteraan.
Untuk menutupi semua kesalahan penguasa, sibuk memainkan peran aturan dengan pasal pelindungnya (seperti tax amnesty dan tax holiday), untuk menghindari kritik pedas pasal penghinaan rezim pun dihadirkan, seolah semua sabdanya selalu benar dan salah buat rakyat yang memprotesnya, sehingga semakin tidak jelas demokrasi di negeri ini.
Inikah arti kemerdekaan itu, yang setiap tahunnya diperingati meriah sebulan penuh? Dengan banyaknya penderitaan rakyat, yang tak kunjung menemukan obat kesejahteraannya.
Pantaskah kemerdekaan, dirayakan untuk diperingati dengan hingar bingar? Tidak sedikitpun anak negeri seperti kami sebagai anak bangsa yang mencintai bangsa dan tanah airnya, selalu sabar dan teguh dalam menyampaikan kabar akan kenyataan negeri ini, agar rakyat tau bahwa negeri ini tak hanya sekedar merdeka secara konstitusi. Karena pada kenyataan nya negeri ini sedang tidak baik-baik saja kawan.
Mari kita benahi dengan kesadaran atas refleksi kemerdekaan ini. Sehingga pertanyaan yang seoalah tidak bermartabat itu tidak bermunculan lagi disetiap benak anak-anak negeri yang rindu kemerdekaan hakiki, kemerdekaan yang sejati.