Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Di Desa Ini, Lumbung Padi Bisa Jadi Lumbung Sosial hingga Gaji Ketua RT
Setiap warga yang mengalami paceklik bisa meminta jatah gabah keluarganya sebagai pinjaman.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNERS - Perekonomian masyarakat Desa Dondong Kec. Kesugihan, Cilacap, Jawa Tengah terbilang masih jauh dari sejahtera.
Meski mayoritas warga adalah petani, tamun tanah di Desa Dondong termasuk kategori kurang subur yang menyebabkan hasil pertanian sangat rendah.
Banyak masyarakat petani yang merasakan paceklik karena hasil pertanian sudah habis dikonsumsi sendiri padahal masa panen berikutnya belum tiba.
Para keluarga petani pun terpaksa harus menghutang sana-sini untuk mencukupi kebutuhan keluarganya sendiri. Sebenarnya ada pula komoditas lain seperti pisang, namun harganya tidak begitu bagus. Hasilnya banyak generasi muda yang mengadu nasib menjadi TKI dan menjadi urban di kota besar.
Melihat kondisi ini Ali Suhatno Da’i Sahabat Masyarakat (Dasamas) yang diutus LAZ Al Azhar bulan September 2016 lalu dalam program Indonesia Gemilang tergerak untuk membantu petani yang kurang beruntung dengan mencetuskan ide pengumpulan hasil panen padi secara gotong royong. Ide ini kemudian disebut Lumbung Krismon.
“Setiap keluarga wajib menyetor 5 kg padi hasil panen berbentuk gabah kering giling (GKG) ke Lumbung Krismon yang dikelola masyarakat. Dengan anggota 80 kk, bisa terkumpul sebanyak 400 kg atau 4 kwintal tiap kali panen”, ujar Ali.
Dalam 1 tahun atau 3 kali panen Lumbung Krismon bisa menghimpun 12 kwintal atau 1,2 ton.
Gabah yang terkumpul kemudian disimpan di bangunan lumbung yang mirip dengan Pos Ronda. Lokasinya di pinggir jalan sudut kampung yang penjaga malamnya adalah setiap orang yang bertugas ronda.
Setiap warga yang mengalami paceklik bisa meminta jatah gabah keluarganya sebagai pinjaman. Kemudian harus mengembalikan pada saat panen sawahnya tiba, tanpa harus menambah apapun.
Yang penting, setiap panen petani harus menyimpan 5 kg gabahnya.
Bagi petani hal ini sangat mudah, simpel, membantu masyarakat dan bermartabat.
Warga yang bukan petani pun juga berpartisipasi dengan menyetor padi dengan cara membeli gabah 5 kg dari petani setempat dan distorkan ke Lumbung Krismon.
Ali Suhatno kemudian menjelaskan sebelum adanya sistem ini, para petani tidak bisa sembarang meminjam ke seseorang karena malu dan khawatir menyusahkan tetangganya.
“Kalau warga pinjam ke tengkulak ada resiko hasil pertaniannya terikat. Maka Lumbung Krismon inilah solusinya untuk menjaga ketahanan dan kedaulatan pangan keluarga di Desa Gemilang Dondong,” jelas Ali.
Tradisi dan kearifan lokal ini telah berjalan dan menjadi kebiasaan masyarakat di Desa Dondong. Bahkan, saat ini Lumbung Krismon telah dikembangkan menjadi Lumbung Sosial.
Fungsinya bukan hanya untuk ketahanan pangan warga saja tetapi bisa untuk kegiatan sosial. Jika ada salah satu warga yang meninggal maka akan diberikan bantuan berupa gabah untuk meringankan beban keluarganya.
Bahkan untuk menggaji Ketua RT setiap tahunnya juga diambil dari lumbung ini.
Setiap masa panen tiba aset Lumbung Krismon terus bertambah. Saat ini aset gabah sudah lebih dari 2 ton.
Bila stok berlebih dan masa panen berikutnya sudah hampir tiba, maka gabah digunakan untuk kegiatan sosial.
Berdasarkan kesepakatan bersama gabah Lumbung Krismon dapat dibuka dan dilelang kepada masyarakat agar gabah lama dapat keluar dan gabah baru bisa dimasukan ketika panen tiba.
Inilah kearifan lokal Desa Dondong yang dapat ditiru oleh desa-desa lain di seluruh indonesia untuk membantu program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan dan memperkuat ketahanan pangan berbasis masyarakat.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.