Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kenapa Ya, Agus Harimurti Yudhoyono Kok Dibilang “Anak Ingusan”?
Tidak menyangka kalau tulisan saya berjudul “Berharap Pada ‘Anak Ingusan’ Agus Harimurti Yudhoyono” di Tribunnews.com (10/10) mendapat apresiasi cukup
Editor: Toni Bramantoro
Oleh: Alex Palit
Tidak menyangka kalau tulisan saya berjudul “Berharap Pada ‘Anak Ingusan’ Agus Harimurti Yudhoyono” di Tribunnews.com (10/10) mendapat apresiasi cukup beragam.
Maaf-maaf saja kalau amatan saya agak nyeleneh, tapi saya tetap mencoba mengungkapkannya secara jujur, apa adanya. Tidak perlu ada dusta di antara kita. Tidak ada tendensi kepentingan politis apapun juga, apalagi kepentingan politik pragmatis ini itu.
Maklumlah, saya bukan pengamat politik bergelar S3 yang sering nongol di layar kaca televisi, saya hanyalah seorang citizen jurnalis yang cuma lulusan S1 – FISIP, jadi amatannya yang remeh-temeh saja, dan independen, tidak ada tendensi keberpihakan politis pragmatis.
Saya hanyalah citizen jurnais penyuka musik dan pengapresiasi lirik lagu, serta pengaji pring-deling Komunitas Pecinta Bambu Unik Nusantara (KPBUN), tidak kenal AHY, dan bukan pula masuk Agus Fans Club (AFC) atau tim suksesnya pasangan Agus – Sylviana.
Di sini saya menangkap pesan dan kesan bahwa dari yang tersirat di balik judul “Buat saya ngaco saja sih. Dia mau jadi panutan, panutan apa anak masih ingusan gitu!”, aroma politis lebih kuat, begitupun dengan arah tendensi politisnya ke mana, ketimbang sebagai amatan politik yang jujur, netral dan independen.
Kalau diberi tanda kutip, sebetulnya kutipan itu mengarah pada rivalitas politik jelang Pilpres 2019. Rivalitas persiapan pertaruhan dan pertarungan menuju Pilpres 2019 antara “Putra Mahkota” dengan “Putri Mahkota” yang kini sudah saling dipersiapkan sebagai “Satrio Piningit”, termasuk juga disiapkan bertarung dengan “Satrio Kali Bantaran”.
Atau nantinya bisa pula menjadi rivalitas pertaruhan dan pertarungan antara ‘anak ingusan’ melawan 4L: loe lagi, loe lagi, di Pilpres 2019. Sementara kita sudah jengah dengan 4L, capek deh!
Di tengah terjadinya krisis ketokohan kepemimpinan figurisasi idola kaum belia, kemunculan anak muda AHY di panggung politik bukan lantas disikat dengan jurus “anak ingusan” demi kepentingan politik pragmatis pada Pilkada DKI 2017 dan jelang Pilpres 2019.
Kalau sekarang pencalonan AHY di Pilkada DKI 2017 dibilang “anak ingusan”, lantas dua dua tahun kemudian jelang Pilpres 2019 bisa-bisa dibilang ABG, anak baru gede calonkan presiden. Sementara dibenak kita sudah jengah dengan 4L: loe lagi, loe lagi!
Terlepas kita mendukung salah satu pasangan kandidat yang ada pada Pilkada DKI 2017. Tapi setidaknya dari ajang pilkada ini kita juga berharap munculnya ketokohan anak muda, yaitu tampilnya kaum belia sebagaimana harapan dinyanyian Gombloh di lagu “Kami Anak Negeri Ini” dan “Pesan Buat Kaum Belia”.
Beri kesempatan yang sama, beri ruang panggung yang sama untuk tampil kendati masih dianggapnya “anak ingusan”. Persoalan kalah atau menang biar diuji dan teruji, serahkan pada pemilih, warga Jakarta sudah cerdas kok dalam memilih yang terbaik di antara terbaik. Semoga!
* Alex Palit, citizen jurnalis “Jaringan Pewarta Independen”, pendiri Komunitas Pecinta Bambu Unik Nusantara (KPBUN) dan Pemimpin Redaksi Bambuunik.com