Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Meneropong Kontestasi DI PBSI & PSSI
DALAM waktu dekat ini akan diselenggarakan pemilihan pimpinan baru untuk dua cabang olahraga yang sama-sama populer, yakni bulutangkis dan sepakbola.
Editor: Toni Bramantoro
Oleh: Tb Adhi
DALAM waktu dekat ini akan diselenggarakan pemilihan pimpinan baru untuk dua cabang olahraga yang sama-sama populer, yakni bulutangkis dan sepakbola.
Bulutangkis dituliskan lebih dulu karena pemilihannya pun akan dilaksanakan lebih awal, pada 30 Oktober-1 November di Surabaya, Jatim. Pemilihan di sepakbola dilangsungkan kemudian, yakni 10 November di Jakarta.
Sepakbola dan bulutangkis adalah dua cabor yang popularitasnya sudah mendunia. Dengan demikian, dinamika terkait kedua cabor tersebut di tanah air, bisa menjadi konsumsi internasional, tak terkecuali pemilihan ketua umumnya.
Di dalam negeri dimensi terkait interaksi kedua cabor tersebut mestinya menjadi perhatian intens dari publik, apalagi PBSI dan PSSI sama-sama sudah dikenal dan diketahui luas.
Walau memang sehubungan dengan penyelenggaraan Musyawarh Nasional (Munas) untuk penetapan ketum baru periode 2016-2020 tersebut tidak ada kegaduhan dari masyarakat pencinta fanatik bulutangkis dan sepakbola.
Catatan khusus mungkin perlu diberikan pada PSSI karena dari interaksi internal dan eksternal yang terjadi Kongres Pemilihan (sebutan Munas untuk PSSI) akhirnya dilaksanakan bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November tersebut.
Itu adalah keputusan dari Federasi Sepakbola Internasinal (FIFA) yang memberikan waktu penyelenggaraan Electoral Committee-nya (Exco PSSI) selambat-lambatnya 10 November. Seperti diketahui Exco PSSI 2014-2016 sebelumnya memutuskan Kongres Pemilihan dilaksanakan 17 Oktober di Makassar, Sulsel.
Namun dengan mempertimbangkan permintaan dari kelompok tertentu dari pemilih, dan disebut-sebut demi mengutamakan aspek sejarah, Kantor Menpora sebagai representasi pemerintah mengajukan Yogyakarta sebagai alternatif tempat Kongres Pemilihan.
Akhirnya, setelah urun-rembug dengan FIFA, Kongres Pemilihan Exco PSSI 2016-2020 tersebut diputuskan digelar di Jakarta pada 10 November.
Itulah yang membuat Kongres PSSI berdekatan waktunya dengan Munas PBSI, yang tanggal pelaksanaannya pada 30 Oktober-1 November diputuskan lebih awal oleh internal PB PBSI.
PANAS
Jika finalisasi waktu penyelenggaraan Kongres Pemilihan PSSI harus melalui sedikit keriuhan dari internal dan eksternal masyarakat sepakbola, tidak demikian halnya dengan Munas PBSI, penetapannya mulus-mulus saja.
Kendati demikian, bukan berarti hari-hari menuju pelaksanaan Munas PSSI akan terlewati dengan mulus juga. Begitu juga dengan Kongres PSSI.
Tak bisa dipungkiri bahwa semakin mendekati ke saat pelaksanaan Munas PBSI dan Kongres PSSI itu di internal kedua komunitas terbelah. Suasana kebatinan para pemilik suara, yang menentukan figur terpilih, bisa dikatakan dihinggapi kegalauan. Figur mana yang harus mereka pilih?
Mulus atau tidaknya demokratisasi di PBSI dan PSSI sama-sama ditentukan oleh perilaku voter atau pemilik suara. Lurus atau bengkoknya pilihan mereka, dari pengalaman selama ini, dipengaruhi oleh berbagai indikator.
Satu hal yang pasti, baik di pemilihan pimpinan baru PBSI maupun PSSI, tidak pernah ada survei atau jajak pendapat yang mengakomodasi pilihan masyarakat--sejatinya komunitas bulutangkis dan sepakbola, apalagi melibatkan masyarakat umum secara luas.
Keterlibatan lembaga pooling mungkin saja dianggap tidak lazim. Berbeda dengan kontestasi di Pemilihan Gubernur (Pilgub) pada Pilkada serentak 2017, khususnya Pilgub DKI.
Kontestasi baru digelar 15 Februari 2017, namun kegaduhannya sudah terjadi sejak jauh-jauh hari. Berbagai institusi jajak pendapat memprediksi peluang dari tiga pasangan calon (paslon) Gubernur DKI periode 2016-2021 tersebut: Agus Harimurti Yudhoyono-Silviana Murni, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, dan Anis Baswedan-Sandiaga Uno.
Sehubungan dengan calon-calon pimpinan PBSI dan PSSI periode 2016-2020, kepada publik sudah tersampaikan kandidat-kandidat yang akan mendudukinya.
Sesuai dengan aturan atau peraturan organisasi dari kedua cabor, publik mengetahui adanya dua calon kuat untuk menjadi ketum PB PBSI 2016-2020, dan delapan kandidat untuk ketum PSSI periode sama.
Dari dinamika internal di PSSI, diketahui bahwa dari delapan kandidat ketum tersebut pilihan voter Kongres Pemilihan mengerucut kepada dua nama.
Sejauh ini, keduanya menjadi kandidat terkuat untuk merebut kursi "PSSI-1" itu. Yakni, Jenderal TNI (Purn) Moeldoko dan Jenderal TNI Edy Rahmayadi.
Figur-figur lain yang populer tetapi tampaknya hanya sekedar menjadi penghias adalah pengusaha pribumi Erwin Aksa, yang kemenakan dari Wapres Jusuf Kalla, dan Eddy Rumpoko, Walikota Batu, Malang, yang punya sejarah dengan klub Arema.
Mungkin bukan sekadar kebetulan jika untuk Munas PBSI pun ada keterlibatan sosok jenderal. Ia adalah Jenderal TNI (Purn) Dr. H. Wiranto, S.H. Kandidat kuat lainnya adalah pengusaha Gita Wirjawan, petahana ketum PBSI periode 2012-2016.
Keberadaan jenderal-jenderal dalam pemilihan pimpinan baru PBSI dan PSSI inilah yang menyebabkan atmosfir menjelang Munas PBSI dan Kongres PSSI terkesan panas. Apalagi, hingga tulisan ini dibuat, para kandidat tetap sama-sama menyatakan kesiapannya untuk menjadi nakhoda baru cabor bulutangkisa dan sepakbola.
MUNGKINKAH WIRANTO AKAN MULUS
Terkait dengan Munas PBSI, bukan baru kali ini arena pemilihan diwarnai tampilnya figur militer. Dalam 60 tahun terakhir perjalanan PBSI, lima ketua umumnya dijabat oleh korps baju hijau. Yakni, Tri Sutrisno, Suryadi, Subagyo HS, dan Sutiyoso, dan Djoko Santoso.
Gita Wirjawan adalah ketum dari kalangan sipil, sebagaimana Chairul Tandjung dan Rochdi Partaatmadja, ketum di awal berdirinya PBSI.
Dari lima ketum yang berasal dari korps baju hijau itu, hanya Try Sutrisno yang mengemban kepercayaan selama dua periode. Lainnya satu periode. Menariknya, bulutangkis seperti turut mendorong pencapaian promosi untuk Try Sutrisno.
Ia memangku jabatan ketum PB PBSI semasih menjadi Wakasad, hingga terakhir menjadi Jenderal bintang empat dan kemudian Wapres.
Merunut dari catatan sejarah naiknya ketum PBSI, diketahui bahwa secara umum mereka dipilih secara aklamasi oleh peserta Munas. Artinya, pencapaian mereka digapai dengan mulus, tanpa harus berinteraksi melalui mekanisme voting atau pemungutan suara.
Apakah ini akan berlaku juga untuk Munas PBSI di Surabaya? Jenderal TNI (Purn) Dr. H. Wiranto, SH, sebelumnya sukses memimpin organisasi olahraga bridge (Gabbsi) dan karate (Forki).
Karena menjadi representasi dari pemerintah, Wiranto tak memiliki lawan untuk mendapatkan amanah masyarakat bridge dan karate. Pada usianya yang kini 69 tahun sekarang ini, hingga hari ini Wiranto diketahui masih harus bertarung dalam kontestasi dengan Gita Wirjawan, pengusaha berusia 51 tahun.
Dengan bercermin dari dukungan mayoritas pemilik suara (voter), mestinya Wiranto yang salah satu lulusan terbaik dari AMN 1968 tidak akan tertahan untuk menduduki kursi "PBSI-1".
Wiranto didukung oleh 18 dari 34 Pengprov PBSI. Itu berarti mayoritas. 18 unggul dibanding 16, atau 17 sekalipun jika satu suara dari PBSI diberikan untuk Gita. Itu jika voting akhirnya jadi dilakukan, karena Gita masih keukeuh maju menghadapi Menkopolhukam itu.
Jika Gita akhirnya memilih mundur karena harus berseteru dengan wakil dari pemerintah atau seorang negarawan, maka pemungutan suara tak jadi dilakukan.
Peserta Munas secara aklamasi akan menetapkan Wiranto sebagai Ketum PB PBSI 2016-2020, sebagaimana Gita Wirjawan dipilih secara "aklamasi" sebagai Ketum PBSI 2012-2016 melalui Munas medio Agustus 2012 di Yogyakarta.
Aklamasi sengaja diberi tanda petik karena kala itu Gita sebenarnya berseteru dengan Icuk Sugiarto yang mendapat dukungan dari beberapa Pengprov PBSI. Icuk bahkan hadir di arena Munas dan menyatakan kesanggupannya untuk memimpin PB PBSI.
Namun, Gita yang kala itu seorang negarawan dengan menjadi Menteri Perdagangan pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid-2 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hanya bersedia menjadi ketum jika dipilih secara aklamasi. Jadilah Icuk tersisihkan.
MOELDOKO & EDY RAHMAYADI
Suasana menuju Kongres Pemilihan Exco PSSI 2016-2020 pada 10 November di Jakarta terasa lebih dinamis karena keberadaan dua jenderal yang sama-sama disebutkan didukung oleh mayoritas pemilik suara atau voter.
Suasana yang lebih dinamis itu tak bisa dihindari karena jumlah voter untuk Kongres Pemilihan PSSI jauh lebih banyak dibanding Munas PBSI. Jika voter di PBSI hanya 34 atau 35, pemilik suara di Kongres Pemilihan totalnya ada 107, yang berarti lebih dari tiga kali lipat voter PBSI.
Sebagaimana dituliskan di bagian atas, sebenarnya ada delapan kandidat untuk ketum PSSI 2016-2020 ini. Akan tetapi, nama-nama kandidat lainnya tak terlalu menimbulkan ketertarikan media-massa, dibandingkan dengan mengedepankan sosok Moeldoko dan Edy Rahmayadi.
Dari eskalasi pemberitaan sejak beberapa bulan terakhir ini, ekspektasi pertarungan sudah mengarah kuat kepada dua figur di atas: Moeldoko dan Edy Rahmayadi.
Jika tak ada perkembangan signifikan terkait pencalonan kedua jenderal ini, voter Kongres Pemilihan tetap akan terbelah pada kontestasi diantara mereka, dengan mekanisme satu suara untuk satu nama.
Terkait dengan tetap tampilnya kedua jenderal tersebut, hampir bisa dipastikan jika kandidat ketum lainnya akan mendapatkan suara.
Moeldoko, yang 8 Juli lalu tepat berusia 59 tahun, adalah lulusan Akademi Militer 1981 dengan predikat terbaik dan berhak mendapatkan penghargaan prestiseus Bintang Adhi Makayasa dan Tri Sakti Wiratama.
Jenderal TNI (Purn) Dr.Moeldoko menjabat Panglima TNI sejak 30 Agustus 2013 hingga 8 Juli 2015. Jenderal kelahiran Kediri, Jatim, itu, sebelumnya menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat sejak 20 Mei hingga 30 Agustus 2013.
Saat menjabat Panglima TNI itulah kontestasi Pilpres diselenggarakan pada 2014, dan Moeldoko sukses mengamankan suksesi kepemimpinan dari Susilo Bambang Yudhoyono kepada Joko Widodo.
Sementara itu, Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi, adalah lulusan Akmil 1985. Saat ini ia masih menjabat Pangkostrad, berdasarkan keputusan Panglima TNI pada 25 Juli 2015 yang ditandatangani oleh Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, yang menggantikan Moeldoko.
Edy Rahmayadi yang dilahirkan di Sabang, Aceh, 10 Maret 1961, disebut-sebut memperoleh dukungan kuat dari mayoritas voter Kongres Pemilihan PSSI. Namun, perilaku dari para voter sendiri bisa dikatakan "unpredictable".
Mekanisme voting tertutup juga mempengaruhi perilaku para pemilik suara.
* Tb Adhi Pemerhati Olahraga