Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Peran Media dalam Konflik SARA di Pemilukada
Media yang tidak terkontrol oleh PWI seperti medsos akan digunakan oleh calon dalam sebuah pemilukada dalam memberikan opininya.
Penulis: tommy pujonugroho
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNERS - Konflik adalah warisan kehidupan sosial yang berlaku dalam berbagai keadaan.
Sebagai akibat bangkitnya keadaan ketidaksetujuan, di antara dua pihak atau lebih secara terus menerus.
Potensi konflik terutama berbau SARA lebih mudah terpicu jika berkaitan dengan sebuah proses politis, seperti Pemilukada. Di sinilah, konflik dapat meredam atau malah memanas, dan ini semua melibatkan media massa.
Dalam sebuah Diskusi Publik Peran Media Dalam Meredam Potensi Konflik SARA Pada Pemilukada di Kalimantan Barat, dibahas persoalan hubungan peran media dan politik ketika diwarnai konflik SARA.
Diskusi yang menghadirkan Letkol Dedi K Harahap dari Kodam Tanjung Pura dan Pemred Harian Suara Pemred, Muhlis Suhaeri membahas dengan menarik tema ini.
Dedi Harahap, menekankan bahwa media adalah sebuah sarana informasi dalam menyampaikan pesan baik negatif maupun positif.
Media yang tidak terkontrol oleh PWI seperti medsos akan digunakan oleh calon dalam sebuah pemilukada dalam memberikan opininya.
Maka dari itu perlunya berhati hati dalam membagikan informasi. Sehingga tidak memperkeruh situasi walaupun tidak ada niat namun dapat menimbulkan dampak yang luas.
Sementara Muhlis Suhaeri, menggambarkan bahwa kondisi saat ini dengan adanya sosmed seperti instagram dan facebook merupakan efek dari globalisaisi.
Akan tapi yang bisa dilakukan adalah bagaimana berkomunikasi berinteraksi dengan sosial media.
Yang harus dipahami adalah ketika subjek pilkada memiliki akun pribadi yang menyerang sehingga dalam hal ini Undang- Undang ITE dan tentunya memiliki pidana, berbeda dengan media yang memiliki hirearki dan tanggung jawab.
Sehingga jika menyerang melalui rana publik yaitu lewat sosmed maka yang bersangkutan akan terkena UU ITE yaitu pidana, sementara kalau media massa terdapat UU pers yang berhierarki.
Dalam sesi tanya jawab dibicarakan tentang sebuah negara yang tingkat kedewasaan politiknya masih rendah, isu SARA menjadi rawan konflik.
Masyarakat belum terbiasa menghargai perbedaan dan keberagaman dan sebaliknya tingkat toleransi terhadap perbedaan tadi masih sangat rendah.
Maka minimnya toleransi ini yang pada nantinya sebagai pemicu peristiwa konflik yang terjadi di dalam masyarakat.
Di Lain sisi, media massa selama ini dimaknai sebagai salah satu pilar demokrasi. Artinya, media memiliki peranan yang penting di dalam menjaga bahkan mempengaruhi jalannya suatu proses politik seperti Pemilukada di wilayah tertentu.
Sedikit banyaknya praktek media massa berkontribusi terhadap bagaimana prinsip-prinsip demokratisasi mampu terselenggarakan dalam tatanan masyarakat.
Di negara-negara yang sudah lebih maju dan dianggap telah lebih matang dalam hal pelaksanaan sistem politiknya, maka posisi media sebagai instrumen demokrasi akan lebih terlihat.
Media massa menjadi indikator dalam pelaksanaan suatu pemilihan politik. Selanjutnya mereka akan memposisikan dirinya sebagai penyeimbang dalam perjalanan sistem tersebut dalam upaya menjaga kondusifitas yang berjalan.
Pada akhirnya sebuah solusi, media massa dapat berperan dalam menjembatani proses Pemilukada apakah kan diwarnai konflik atau kondusif. Jika pesan positif dapat diciptakan dengan kontribusi dari media massa, maka harapan terbentuknya Pemilukada yang aman dan demokratis lebih dapat diharapkan.