Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Negara Kekuasaan dan Provinsi Gagal
Sejak pidato Ahok di Pulau Seribu diunggah potensi keributan sosial politik terus meningkat.
Editor: Rachmat Hidayat
Oleh pengamat kebijakan publik Dr. Ichsanuddin Noorsy B.Sc., SH., M.Si
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Sejak pidato Ahok di Pulau Seribu diunggah dan menyebar luas tentang penistaan agama, potensi keributan sosial politik terus meningkat.
Dimulai dengan unjuk rasa ummat Islam yang menyebar ke seluruh tanah air, pelaporan Ahok ke Bareskrim, Fatwa MUI bahwa pernyataan Ahok adalah penistaan agama.
Kemudian undangan 35 Pimred ke Istana, kunjungan Presiden Joko Widodo ke Prabowo Subianto di Hambalang, undangan silaturahim Presiden Joko Widodo kepada Pengurus MUI, PP Muhammadiyah dan PB Nahdlatul Ulama.
Ini mengindikasikan betapa pemegang kekuasaan fomal memandang perlu merespon situasi dan rencana demonstrasi 4 Nop 2016.
Ahok, yang terkesan dilindungi hukum dan kekuasaan formal, tetap tampil percaya diri dalam kampanyenya walau masyarakat mengusirnya saat yang bersangkutan berkunjung.
Sebagaimana terjadi di tempat dan waktu yang berbeda. Tohpemegang kekuasaan dan penegak hukum “merabunkan pandangan”nya dengan mengatakan, demonstrasi adalah hak.
Tapi jangan memaksakan kehendak. Hukum pun harus ditegakkan dan negara tidak boleh dikalahkan oleh tekanan kelompok tertentu.
Ini memposisikan keadaan yuridis formal berhadapan dengan yuridis sosiologis dan yuridis filosofis. Yakni keabsahan hukum formal yang digunakan penguasa dan penegak hukum tidak berpijak pada kenyataan dan bersitegang dengan cita-cita bersama.
Jauh sebelum kasus ini menyeruak, saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada sejumlah petinggi politik (menteri dan anggota DPR serta pimpinan parpol), penegak hukum (perwira tinggi kepolisian) dan pemilik modal (beberapa konglomerat papan atas).
Apakah sikap dan pernyataan Ahok terhadap Al Qur’an surat Al Maidah 51 itu sedang mengutuhkan atau meruntuhkan tatanan sosial yang sedang rentan karena liberalisme ekonomi dan politik?
Jika sedang mengutuhkan tatanan sosial, apakah buahnya mengukuhkan persatuan dan kesatuan bangsa atau sebaliknya ? Lalu, apa dampaknya bagi parpol yang mendukung dan mengusungnya di tengah kepercayaan masyarakat terhadap parpol di titik nadir?
Pertanyaan ini tentu tak dijawab, bukan karena tidak bisa menjawab. Tapi lebih karena telah menyentuh hati nurani mereka.
Di sini saya melihat bahwa masih ada secercah harapan akan hadirnya keinginan luhur para pemegang kekuasaan dan penegak hukum. Asumsi saya, mereka masih mendengarkan bisik hati nurani mereka sendiri.