Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Negara Kekuasaan dan Provinsi Gagal
Sejak pidato Ahok di Pulau Seribu diunggah potensi keributan sosial politik terus meningkat.
Editor: Rachmat Hidayat
Nyatanya muncul operasi tangkap tangan KPK di Kemenhub, beredar pengerahan anggota Brimob, dan tersiar alasan hukum tidak memeriksa seseorang yang terdaftar sebagai Cagub ?
Intinya, penguasa dan penegak hukum menolak permintaan memeriksa dan memenjarakan Ahok.
Padahal jika cerdas, Ahok tetap diperiksa, sedangkan statusnya ditetapkan kemudian. Kalangan masyarakat kemudian membenturkannya dengan kasus Trans Jakarta yang membawa korban Udar Pristono menjadi terpidana, kasus tanah BMW.
Kasus pembelian Rumah Sakit Sumber Waras, kasus Reklamasi yang memposisikan Sanusi dan Ariesman sebagai terpidana korupsi dan Aguan hanya dicekal KPK.
Aguan malah berkunjung ke Istana.Dengan merujuk kasus-kasus di atas dan beberapa kasus lain di bidang politik dan ekonomi, maka saya memahami esensi situasi kondisi ini sebagai penerapan negara kekuasaan.
Dalam konstruksi ketata negaraan, negara kekuasaan adalah negara yang memiliki kekuasaan formal berdasarkan proses politik yang sah menurut hukum.
Pemegang kekuasaan boleh mengambil keleluasaan kebijakan (diskresi) sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, azas kepatutan, perundang-undangan yang berada di atasnya, dan azas-azas umum pemerintahan yang baik.
Tetapi negara pun menerapkan azas legalitas atau hukum tertulis sepanjang hal itu menguntungkannya. Saat diskusi yang diselenggarakan Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia.
Dengan pembicara Prof Saldi Isra dari Universitas Andalas, Prof Gayus Lumbun (Hakim Agung), Prof Faisal Santiago, dengan tegas saya menganalisis bahwa pemerintahan Joko Widodo menerapkan model negara kekuasaan.
Diskusi yang diselenggarakan dalam rangka Dua tahun Nawacita bidang hukum tidak bisa mengelak kecuali berbicara tentang pentingnya budaya hukum (legal culture) yang sesuai dengan substansi hukum (legal substance) dan struktur hukum (legal structure).
Dalam diskusi tiga lawan satu seperti disampaikan pimpinan Asosiasi, saya berpendapat, sistem dan struktur berpikir seperti itu harus berpijak pada proporsi yuridis filosofis, yuridis sosiologis dan yuridis formal.
Tanpa hal ini, maka negara kekuasaan akan berakibat hukum sebagai pisau yang tumpul ke atas tajam ke bawah. Politik tanpa hukum adalah liar, hukum tanpa politik mandul.
Maka negara kekuasaan mengindikasikan melagaknya the winner takes all, the loser gets nothing, survival of the fittest.
Disebabkan Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI demikian meluas sekaligus menunjukkan rendahnya harkat kewibawaan penguasa dan penegak hukum sebagaimana saya sajikan di hadapan berbagai petinggi di negeri ini, aliansi kekuasaan dibangun.