Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Meruwat Kebersamaan, Merawat Nilai Kebangsaan
Menampilkan kesadaran bersama bahwa membersihkan yang jorok itu tidak bisa dengan mengunakan sapu yang kotor belepotan.
Editor: Robertus Rimawan
Oleh : MH Said Abdullah
Wakil Ketua Banggar DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan
TRIBUNNERS - Setiap warga, agak sulit dibuat seragam dari berbagai perpspektif.
Ungkapan, perasaan dan cara pandang, sebentuk tamsil dimana perbedaan itu kerapkali terjadi.
Dalam bahasa Arab, tidak sama itu berarti ikhtilaf.
Di dalam perbedaan, selalu ada rahmat.
Hikmah inilah yang hendak ditampilkan tanpa mengedepankan perbedaan dan memperuncing keadaan.
Sebab segala bentuk perbedaan itu senantiasa dibingkai Bhinneka Tunggal Ika, Benni Geneka Keng Tongelle Geneka (Madura).
Semua perbedaan itu, merunut nilai yang melekat pada substansi demokrasi dan makna kebangsaan.
Ketika terjadi unjuk rasa pada tanggal 4 November 2016 lalu, orang-orang sedang mengekspresikan dirinya sebagai warga bangsa yang dilindungi undang-undang untuk menyatakan gagasan dan atau berbeda pendapat.
Ada satu cermin yang mungkin saja retak tetapi ditafsir secara berkotak-kotak.
Bila cermin retak itu adalah kaca dalam bingkai, maka keseluruhan yang retak itu masih dalam satu kotak pigura yang utuh, nusantara.
Oleh karena itu, ada dua model yang bisa dipilih oleh siapapun yang berkeinginan untuk memungut serpihan-serpihan itu.
Pertama, apakah akan membuat retakan-retakan itu kian terburai, ataukah kedua, pecahan-pecahan itu akan dirawat dalam bingkai yang sama sebagai bentuk keutuhan bertatakaca?
Pada saat siapapun tidak memungkinkan untuk memilih kedua-duanya, pastilah pilihannya mengambil salah satu diantaranya.
Yakni, memilih yang lebih baik di antara yang baik atau mengambil yang terbaik dari (misalnya) yang terjelek.
Peristiwa yang terjadi dalam unjuk rasa 4 November lalu, sebenarnya ia hanya momentum bagi siapa saja untuk mengambil yang terbaik.
Ia adalah jeda untuk sadar diri bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak lazim.
Ketidaklaziman itu tak lain adalah ancaman disintegrasi antarwarga yang ujung-ujungnya akan berimbas pada tantangan keutuhan yang lebih besar, negara.
Sebelum situasi ini semakin larung dalam atmosfer yang kontraproduktif, semua pihak butuh menahan diri untuk kedaulatan semesta berencana.
Pertama, apa yang terjadi dalam kasus Ahok sejatinya dijadikan ruang istirah untuk menjadikan diri sebagai yang eling lan waspodo.
Kedua, para politisi, apapun partainya, butuh melakukan dekomersialisasi ayat suci untuk sekedar memenangkan kontestasi dalam kompetisi politik.
Ketiga, menampilkan kesadaran bersama bahwa membersihkan yang jorok itu tidak bisa dengan mengunakan sapu yang kotor belepotan.
Lagi pula, bukankah menuduh seseorang telah berbuat nista dengan cara menista, tidakkah prilaku ini juga termasuk nista yang lebih nyata?
Keempat, ada sinyal yang cukup kuat bahwa Pancasila belum sepenuhnya menjadi ruh dan jiwa bangsa.
Ini ditandai dengan begitu mudahnya warga tersulut yang menyebabkan orang lain, bahkan dirinya, tersudut.
Kelima, ada banyak hal yang dilupakan dalam aspek kebangsaan terutama bahwa semua warga adalah saudara.
Kalau semua sudah menjadi satu dan bersekutu, lalu untuk apa berseteru?
Ada banyak hal yang menyebabkan bangsa terancam bahkan terpuruk.
Di antaranya, datang dari dalam negeri seperti disintegrasi bangsa, keresahan sosial, upaya penggantian ideologi, makar, dan kehendak untuk perluasan daerah otonomi khusus tanpa alasan yang jelas.
Selain itu, termasuk mengancam situasi bangsa manakala terdapat pemaksaan kehendak golongan tertentu yang inkonstitusional, potensi konflik antarkelompok, KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme), kesenjangan ekonomi, narkoba, pornografi dan pornoaksi.
Dari sekian item yang mengancam kondisi bangsa, situasi mutakhir negeri ini memungkinkan bangsa ini terpuruk pada saatnya.
Itulah sebabnya mengapa semua harus kembali ke rumah besar warga bangsa (Indonesia), meruwat dan merawat supaya perjalanan semesta ini tidak terseok karena sebagian dari kita menghendakinya begitu, tanpa disadari.
Sejatinya, ada persoalan yang lebih serius soal bangsa yang satu, yang seharusnya butuh perhatian ekstra.
Maka pertanyaannya adalah, mengapa hal penting ini luput dari bidikan padahal itu sangat urgen dalam risalah kehidupan warga bangsa?
Pada saat publik di luar Asia termangu-mangu memuja bangsa ini sebagai negeri yang sulit ditaklukkan, mengapa warga sendiri yang hendak meruntuhkan bangsanya dengan cara mengarahkan pandangan yang hendak mendekonstruksi substansi nilai dan makna berbangsa?
Konstruk ini berbeda dengan cara warga India mencintai bangsanya yang pada mulanya dipandang sebelah mata terutama ketika bangsa ini dianggap negara miskin.
Tetapi siapa sangka bila pada akhirnya dengan kebersamaan dan kekompakannya, India menjadi negara yang susah untuk ditaklukkan.
Meskipun, negara ini memiliki populasi yang banyak dengan angka kemiskinan yang tinggi, tetapi tahun ini India telah menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.
Di bidang militer, India berada di posisi ke-3 dalam hal kekuatan militer terbesar.
Dinding laser yang dibangun untuk melacak siapa saja yang menerobos melewati perbatasan, mengejutkan negara lainnya di Asia.
Begitu pula dengan Pakistan, di bidang ekonomi, negeri ini menunjukkan taringnya dan berada di urutan ke-5 sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.
Hal yang sama dialami Tiongkok yang tingkat perekonomiannya empat kali lebih besar. Setara dengan negeri maju di Asia adalah Jepang.
Ia berada di urutan ke-7 dalam deretan negara paling berpengaruh di dunia dan bertengger di urutan ke-3 dalam hal ekonomi terbesar di dunia.
Di ranking berikutnya adalah Korea Selatan yang dikenal dengan macan Asia. Baru di urutan paling akhir adalah Indonesia.
Di posisi buncit inilah, warga seharusnya berpikir dan bertindak lebih serius dalam menata hati bagaimana seharusnya berwarganegara dan bermasa depan yang lebih bermartabat.
Negeri ini milik bersama dan tidak ada yang merasa lebih berhak untuk menancapkan kakinya sebagai yang superior, apapun suku, agama, ras dan golongannya. Ibarat satu raga yang sakit maka semua merasa perih karena kita berada dalam tubuh yang sama, Indonesia.
Bahwa telah terjadi perbedaan pendapat dan cara menafsir tentang satu hal yang bermula dari ucapan seseorang yang berujung dengan unjuk rasa 4 November 2016 lalu, itu adalah perhatian dalam bentuknya yang lain kepada bangsa ini, seberapapun kecil wujudnya untuk menyelamatkan bangsa dari TAHG (tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan).
Peristiwa ini setidaknya menjadi ikhtiar bersama agar ombang-ambing ketidaksamaan itu kembali ke khittah Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi pijakan bagaimana seharusnya berbangsa, bernegara dan bersatu melawan jejak keterbelakangan.
Dulu, Mark Chapman menyesal karena telah melesatkan peluru ke tubuh artis terkenal asal Inggris, John Lennon.
Mark melakukan ini dengan alasan yang agak sulit diterima logika. Mark menembak Lennon dengan alasan karena artis itu terlalu populer.
Ia tidak berniat membunuhnya karena tidak ada secuil rasa benci pun, dan tidak ada dendam maupun amarah di dadanya.
Oleh karena di republik ini tidak ada Mark Chapman, maka pada saat yang sama, tidak ada kehendak untuk membunuh yang telah populer bernama Indonesia gemah ripah loh jinawi.
Negeri ini harus diruwat atas nama kebersamaan dan dirawat atas nama kebangsaan karena sesungguhnya Indonesia adalah kita, baik dalam perspektif yang sama atau berbeda sama sekali. (*)