Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Yenny Wahid di Titik Keseimbangan Bangsa
Sebagai bagian dari warga mayoritas, bagaimana pun, NU tetap perlu menjaga kebersamaan sebagai anak-anak bangsa.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Sidratahta Muhtar
Dosen Ilmu Politik dan Kaprodi Ilmu Politik Fisipol UKI, Mantan Aktivis HMI.
JAKARTA - Kaum Nahdliyin merupakan kekuatan kultural yang otentik di negeri ini. Karena itu, pada saat muncul krisis kebangsaan, Nahdlatul Ulama (NU) selalu memainkan fungsi ijtihad politiknya guna menjaga kohesi sosial keagamaan.
Sebagai bagian dari warga mayoritas, bagaimana pun, NU tetap perlu menjaga kebersamaan sebagai anak-anak bangsa.
Di sini Yenny Wahid, tokoh muda yang dikenal publik secara luas di Indonesia maupun di manca negara, mengambil peran dalam menjaga keseimbangan bangsa. Meneladani (dan meneruskan) sebagaimana Gus Dur sudah memainkan perannya.
Melalui wadah The Wahid Institute, Yenny ingin tetap konsisten pada garis pemikiran dan gerakan kultural ala KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang selama hidupnya mengabdikan diri untuk membangun Islam keindonesiaan.
Inilah Islam yang berpihak pada kaum lemah, respek pada HAM dan kemanusiaan, serta memandang kehidupan sosial dalam bingkai kebhinnekaan.
Seperti ditulis Greg Barton dari Monash University - Australia, yang menteorisasikan Gus Dur sebagai peletak dasar neo modernisme Islam, maka demokrasi yang sedang mengalami proses pematangan di negeri ini sejatinya merupakan perpaduan antara Islam dan demokrasi sebagai satu keniscayaan.
Melalui The Wahid Institute, Yenny konsisten terhadap pemikiran Gus Dur ihwal perlunya bangsa Indonesia menyebarkan lebih banyak pesan Islam damai, yang merupakan modal dasar bagi bangsa ini dalam mengelola kehidupan beragama.
Pesan damai diperlukan, kata Yenny, karena saat ini masih terdapat kecenderungan intoleransi dan radikalisme di kalangan umat Islam, yang terutama dipicu oleh pemahaman agama Islam yang bersifat literalis atau harfiah.
Dalam konteks itu pula, menarik dicermati ketika awal November lalu Sidney Jones – ahli konflik dan terorisme terkemuka – hadir dalam ruang diskusi di The Wahid Institute dan mengemukakan pengamatannya tentang rencana ”Demo 411” yang ia anggap sebagai demo kelompok radikal.
Pandangan Jones tidak salah bila mengacu pada stigmatisasi dan politisasi atas setiap gerakan Islam eksklusif yang, oleh sejumlah badan resmi di negeri ini, dilekatkan antara lain pada aktivitas Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan lainnya. Mereka disebut sebagai bagian dari kelompok fundamentalisme ideologis.
Sedangkan Yenny Wahid sendiri telah memberikan apresiasi positif terhadap demo 411 yang berlangsung damai, menunjukkan kepada dunia bahwa umat Islam Indonesia mampu berdemokrasi dengan baik dan damai--setidaknya ketika sekitar 2 juta umat Islam tumpah ruah di jalanan hingga bedug maghrib tiba.
Toh, putri kedua Gus Dur ini tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya, mengingat massa dalam jumlah begitu banyak memang sangat rawan disusupi, yang bisa menodai hajatan umat pada Jumat keramat itu.
Yenny berpendapat, saat ini umat Islam di Indonesia merupakan panutan dunia karena dianggap mampu mengembangkan budaya toleransi dalam mengelola kebhinekaan. Semangat inilah yang harus terus dijaga. Jangan sampai rusak oleh ulah pihak tertentu yang sengaja hendak mengail di air keruh.
Faktanya, demo 411 memang fenomenal. Tidak hanya diikuti oleh ribuan anggota dan pendukung organisasi Islam yang – menurut Sidney Jones – termasuk kelompok radikal.
Demo 411 menoreh sejarah, di mana umat Islam dalam jumlah besar, umumnya berpakaian putih-putih, melakukan aksi damai di depan istana presiden, menuntut sosok penista agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diadili.
Fenomena Ahok, yang diduga menista agama saat memberikan ceramah di Kepulauan Seribu, memudahkan umat Islam bersatu dalam membela kitab suci, AlQuran.
Dalam sejarah Indonesia, fenomena aksi membela Islam sesungguhnya bukan hal baru. Jauh sebelum bangsa ini merdeka, pada Januari 1918 terjadi kasus penghinaan Nabi Muhammad saw oleh Djojodikoro melalui tulisannya di media - Djawi Hisworo.
Ia menyebut Gusti Kandjeng Nabi Rasoel meminum AVH, semacam opium. Saat itu, HOS Tjokroaminoto – tokoh pembaharu Muslim – melakukan aksi protes, menuntut pelaku segera diadili.
Aksi tersebut didukung lebih dari 35.000 massa, yang untuk ukuran zaman kolonial tergolong sangat banyak. Di luar itu, ada beberapa kasus yang menjadi yurisprudensi kita terkait penistaan agama, misalnya kasus Arswendo Atmowiloto dan kasus penghinaan agama oleh seorang perempuan Nasrani terhadap agama Hindu di Bali.
Menjaga Keseimbangan
Fenomena Yenny Wahid menarik dibedah dalam konteks kondisi kekinian bangsa Indonesia yang sedang mengalami pembelahan sosial yang tinggi.
Bagaimana tidak. Sikap Presiden Jokowi yang lebih memilih ke bandara ketimbang menemui jutaan demonstran ulama dan massa Muslim pada 411 lalu, bisa dibaca bahwa Jokowi keliru menilai aksi demo dilakukan semata oleh kelompok radikal dan pemrotes pemerintah.
Presiden menduga, organisasi sosial keagamaan besar seperti NU dan Muhammadiyah tidaklah mendukung aksi tersebut secara formal. Dalam kenyataan, seperti diyakini Syahganda Nainggolan dalam tulisannya "Orang NU, Sidney Jones dan Demo 411", memang tidak sedikit warga nahdliyin ikut turun ke jalan mendukung Demo 411. Sebuah demo besar yang tak diprediksi dengan tepat oleh badan/lembaga sandi dan intelijen.
Dalam hiruk-pikuk ini, Yenny Wahid tampak hendak memainkan peran sebagai penengah, atau tepatnya mencoba berada di titik keseimbangan antara kelompok gerakan kanan dan gerakan kiri. Meskipun kategorisasi itu tak selalu tepat, tapi fakta historis-sosiologis menunjukkan, masyarakat Indonesia memang terbelah ke dalam agama dan nasionalis.
Memang tidak mudah mengambil posisi tengah ketika masing-masing pihak berkeras untuk mempertahankan diri, bahkan memaksakan kehendak.
Yenny Wahid memahami konteks pembelahan sosial politik seperti ini, yang diwacanakan di setiap hajatan politik nasional dan pilkada di berbagai daerah di Nusantara. Dalam beberapa pernyataan selepas Demo 411, Yenny kembali meneguhkan ihwal perlunya narasi damai, juga pemisahan sentimen agama dengan politik.
Horison dan pilihan gerakan keumatan NU, Gus Dur, dan tokoh-tokoh bangsa, selama ini memang silih berganti menjaga bangsa ini dengan semangat kemartabatan, keumatan, dan pluralitas. Pegangan kebangsaan tersebut memiliki dasar pijakan kuat, karena AlQuran sendiri menegaskan makna manusia yang berasal dari suku-suku, bangsa, dan golongan agar saling mengenal.
Setiap gerakan sosial memiliki konsekuensi dan efek langsung maupun tak langsung. Demikian pula pilihan Yenny Wahid dalam memainkan peran sebagai penjaga keseimbangan dalam pusaran konflik sosial politik di antara elemen-elemen bangsa. Semangat yang harus dirawat terus menerus adalah kebersamaan, dialog, dan saling melepaskan ego dan arogansi.
Dulu, para pendiri bangsa saling berbeda dalam mempertahankan ideologi dan pandangan masing-tmasing yang diyakini. Tetapi sebagai sesama anak bangsa, dalam momentum dan kesempatan yang berbeda, mereka sigap bekerja sama dan hidup berdampingan satu sama lain.
Di situlah bagaimana platform Bhinneka Tunggal Ika dijaga agar menjadi kebanggaan bangsa. Di situ pula sesungguhnya prestasi umat Muslim Indonesia dalam membawa pesan damai untuk dunia.