Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD, 'Lagu Pilu Diputar Lagi'
Memang agak mengherankan memang, kala Golkar tampil mengesankan di pileg dengan menempati posisi kedua setelah PDIP, di pilkada satu persatu rontok
Editor: Eko Sutriyanto
Oleh : Ray Rangkuti, Pengamat politik dan Pemilu
WACANA Pilkada dikembalikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bukan hal yang mengejutkan.
Namun yang menarik wacana itu disampaikan Ketua Umum Partai Gokar Bahlil Lahadalia saat HUT Partai Golkar ke-60.
Yang menarik wacana ini disampaikan setelah paslon yang diusung oleh Golkar berguguran.
Dalam Pemilukada serentak ini, Golkar bukan saja kehilangan dukungan di beberapa daerah bahkan kehilangan daerah yang secara tradisional merupakan basis Golkar baik diambil PDIP, Gerindra ataupun teman sekoalisinya di KIM.
Memang agak mengherankan memang, kala Golkar tampil mengesankan di pileg dengan menempati posisi kedua setelah PDIP, di pilkada satu persatu rontok kembali.
Namun, apakah kekalahan ada hubungannya dengan pergantian ketua umum partai Golkar di awal tahapan pilkada siap dimulai atau tidak atau karena dominannya Gerindra di koalisi KIM sehingga sulit bagi pemilih membedakan KIM dengan Golkar dalam pilkada perlu dicari sebab musababnya.
Baca juga: Problematika Pilkada dalam Konstitusi
Bahlil terkesan sedang melempar kekalahan ini disebabkan oleh sistem yang menurutnya mahal bukan karena kinerja, soliditas dan mobilitas partai Golkar untuk memenangkan kader atau paslon yang yang mereka dukung, khususnya oleh kepengurusan yang sekarang.
Dengan begitu tidak diperlukan evaluasi kinerja dari kepengurusan DPP Golkar dalam mengawal pilada 2024.
Selain itu alasan kembali ke DPRD karena biaya Pemilukada langsung terlalu mahal, terkesan klasik diulang-ulang sebab tidak ada petunjuk yang valid menunjukan biaya pilkada mahal dimaksud.
Berapa besarannya, dialokasikan ke mana, dan didapatkan dengan cara apa dan sejauh yang bisa kita pastikan biaya dana paslon adalah dana kampanye yang mereka laporkan ke KPUD.
Dan jika menilik laporan dana kampanye itu, kata dia hampir tidak ditemukan sinyal kuat bahwa ada biaya paslon yang sangat besar atau mahal.
Tetapi, bila kenyataannya di lapangan banyak dana yang dikeluarkan, jelas hal itu tidak dibenarkan.
Dalam bahasa lain, ada dana kampanye yang tidak dilaporkan dan tentu saja, hal ini dapat menjadi pelanggaran pilkada sehingga masalahnya bukan lagi biaya mahal tapi laporan tidak jujur tentang dana kampanye.