Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Tajudin si Penjual Cobek dan Eksploitasi Anak
Kisah Tajudin, penjual cobek, yang didakwa mengeksploatasi anak dan perdagangan orang memunculkan pertanyaan.
Editor: Dewi Agustina
Penulis: Reza Indragiri Amriel
Kabid Pemenuhan Hak Anak, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPA Indonesia) selama ini dikenal dengan nama populernya Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA).
Penggunaan nama LPA Indonesia--sebagai pengganti nama Komnas PA--adalah langkah kembali ke khittah 1998, yang sekaligus dilakukan sesuai regulasi agar tidak ada lagi kesan dualisme dengan KPAI.
LPA Indonesia dipimpin oleh Seto Mulyadi selaku Ketua Umum.
Kisah Tajudin, penjual cobek, yang didakwa mengekspliatasi anak dan perdagangan orang memunculkan pertanyaan: Apakah mempekerjakan anak mutlak dilarang?
UNICEF membedakan antara pekerja anak dan buruh anak. Pekerja anak, asalkan pekerjaannya ringan serta tidak mengganggu pendidikan anak dan tidak berbahaya bagi kesehatan anak, bisa dibenarkan.
Buruh anak, yang berbeda dengan definisi pekerja anak, adalah terlarang.
Yang ekstrim berupa anak bekerja sebagai PSK, anak bekerja di kawasan terpencil, anak bersentuhan dengan zat-zat kimia berbahaya, anak mengoperasikan mesin berbahaya, dan lain-lain.
International Labor Organization memberikan kriteria yang menjadi patokan:
A. Anak baru boleh bekerja asalkan telah melewati batas minimal usia wajib pendidikan dasar. Yakni, usia sekitar 12 atau 13 tahun.
B. Pekerjaan harus ringan dan tidak mengorbankan hak-hak dasar anak.
C. Pekerjaan berbahaya jelas tidak boleh dilakukan anak.
Dalam nilai-nilai lokal, anak bekerja juga tak jarang dianggap sebagai bentuk pendidikan dan pendewasaan anak.
Tentu jangan sampai itu dijadikan dalih atas pengabaian hak anak maupun eksploatasi anak.
Mari cek rumah-rumah yang mempekerjakan asisten domestik (asisten rumah tangga). Adakah di dalamnya anak-anak yang dipekerjakan sedemikian rupa, sehingga mereka tidak bersekolah, tidak cukup istirahat, tidak bisa berkomunikasi dengan keluarga mereka, dan mengalami perlakuan salah lainnya? Ya, jangan-jangan eksploitasi anak itu justru berada di lingkungan terdekat kita sendiri.
Paling ideal jika anak-anak bisa fokus bersekolah tanpa bekerja. Namun ketika mereka terpaksa harus juga bekerja, harapannya adalah pemerintah membuka lapangan kerja yang berlokasi sedekat mungkin dengan tempat tinggal anak-anak.
Dengan cara itu, kita berharap hak-hak dasar anak tetap terpenuhi, anak-anak tidak harus putus sekolah, sekaligus mempersempit risiko mereka menjadi korban perdagangan orang.