Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Masyarakat Pro Logika Tumbuh Dampak 'Hoax' Lumpuh
Kebutuhan untuk mendorong tumbuhnya masyarakat pro logika atau masprolog adalah keniscayaan dan sesuatu yang tidak dapat ditawar.
Editor: Hasanudin Aco
F. Argumentum ad numeram (bandwagon); yaitu fallacy yang menggunakan ketenaran sebagai dasar argumentasinya, yaitu dengan percaya bahwa sesuatu itu benar karena
mayoritas orang mengikutinya atau itu sesuatu yang populer. Cukup sulit dideteksi karena kita memiliki kecenderungan terhadap safety by number (mengikuti yang ramai) dengan menganggap sesuatu yang umum pasti benar. Contoh: Perkembangan Islam saat ini luar biasa. Bahkan, banyak penduduk negara-negara barat yang sebelumnya anti Islam kini mengucapkan syahadat. Ini menjadi bukti bahwa Islam adalah agama yang benar. Pesatnya perkembangan Islam tidak menjadi bukti bahwa Islam adalah agama yang benar.
Contoh lain: Kristen dianut oleh 2,2 miliar orang atau 31,50% dari total penduduk dunia. Sementara itu, Islam di posisi kedua dengan jumlah pemeluk 1,6 miliar atau 22,32%. Jelas, Kristen adalah agama yang benar. Banyaknya penganut Kristen bukanlah bukti bahwa Kristen adalah agama yang benar.
G. The Texas Sharpshooter; yaitu fallacy yang memilih data tertentu agar sesuai dengan argumen yang ingin dihasilkan. Contoh: Calon gubernur A didukung oleh mayoritas warga Kota X karena kebijakannya yang telah mampu memberantas lokalisasi. Berdasarkan data yang dihimpun dari masyarakat sekitar lokalisasi, 88% responden
memilih calon Gubernur A. Pernyataan di atas mengandung fallacy karena data yang disajikan tidak memenuhi syarat untuk dijadikan landasan dalam pengambilan kesimpulan bahwa calon gubernur A didukung oleh mayoritas warga kota X. Ini disebabkan karena data yang disajikan hanya data dari responden yang berasal dari masyarakat di sekitar lokalisasi saja. Semestinya disajikan dari data yang berasal dari data penduduk Kota X secara sampling yang benar.
H. Two Wrongs Make a Right; yaitu fallacy yang terjadi ketika diasumsi bahwa jika dilakukan suatu hal yang salah, tindakan salah yang lain akan menyeimbanginya. Sesat-pikir ini biasa digunakan untuk menggagalkan tuduhan dengan menyerang tuduhan lain yang juga dianggap salah.
Contoh: Situ nyuruh-nyuruh saya sholat, emangnya situ udah? Seseorang yang menyuruh sholat namun ia juga belum sholat tidak menjadikan bahwa sholat itu salah atau boleh ditinggalkan. Ini merupakan fallacy yang umum terjadi di masyarakat.
Jenis-Jenis Logical Fallacies (bagian 4)
1. Argumentum ad Novitam; yaitu fallacy yang argumennya berasumsi bahwa sesuatu hal yang baru dapat dikatakan benar dan lebih baik, dengan mengasumsikan penggunaan hal yang baru berbanding lurus dengan kemajuan zaman dan sama dengan kemajuan baru yang lebih baik. Fallacy ini menjual kata „baru‟ dengan menyerang suatu hal yang lama sebagai hal yang gagal dan harus diganti dengan yang lebih baru.
Contoh: Agar terbebas dari korupsi, pemerintahan ini harus menerapkan sistem baru yang diisi oleh generasi muda dengan usia maksimal 40 tahun. Mengganti dengan generasi muda bukanlah merupakan sebab atau parameter yang bisa
menjadikan terbebas dari korupsi.
2. Argumentum ad Antiquitam; yaitu kebalikan dari Argumentum ad Novitam. Sesuatu diasumsikan benar dan lebih baik karena merupakan sesuatu yang sudah dipercaya dan digunakan sejak lama. Argumen ini adalah favorit bagi golongan konservatif. Nilai-nilai lama pasti benar. Cirinya adalah selalu berpatokan bahwa cara lama telah dijalankan bertahun-tahun, maka itu dianggap sesuatu yang pasti benar.
Contoh: Zaman sekarang serba susah. Lebih baik kehidupan di zaman orde baru daripada di era reformasi sekarang ini. Ini merupakan fallacy dengan menganggap bahwa masa orde baru itu lebih baik tanpa melakukan penelitian parameter-parameternya secara menyeluruh. Bisa jadi ada sisi parameter yang pada masa orde baru lebih baik, dan ada pula parameter masa reformasi yang lebih baik. Secara keseluruhan mana yang lebih baik, kita tidak tahu sebelum dilakukan penelitian secara mendalam.
3. Perfect Solution Fallacy; yaitu fallacy yang terjadi ketika suatu argumen berasumsi bahwa sebuah solusi sempurna itu ada, dan sebuah solusi harus ditolak karena sebagian dari masalah yang ditangani akan tetap ada setelah solusi tersebut diterapkan. Contoh: Penerapan UU Pornografi ini tidak akan berjalan dengan baik. Pemerkosaan akan tetap terjadi. Pernyataan di atas mengandung fallacy karena ia tidak mempertimbangkan penurunan tingkat kriminalitas asusila yang terjadi. Dianggapnya jika masih ada kasus asusila maka artinya UU Pornografi tidak berjalan baik atau tidak efektif. Ini merupakan bentuk perfeksionisme yang salah.
4. Poisoning the Well; yaitu fallacy yang argumennya bersifat meracuni orang lain sehingga dianggap tercela dengan berbagai tuduhan bahkan sebelum lawan sempat bicara. Teknik meracuni sumur ini lebih licik dari sekadar mencela lawan seperti pada fallacy ad hominem. Contoh: Mari kita dengarkan pandangan presiden X yang pro komunis ini tentang pandangan pembangunan di negara kita. Pernyataan di atas seakan mengajak untuk berpikiran terbuka dengan mendengarkan pidato presiden X, tetapi sebenarnya ia memberikan pesan di awal dengan melabeli bahwa Presiden X adalah pro komunis tanpa adanya bukti dan alasan yang benar dengan tujuan agar orang
yang diajak bicaranya menjadi tidak netral dalam menilai pidato presiden X.
5. Ipse-dixitism; yaitu fallacy yang argumennya didasarkan pada keyakinan yang dogmatis. Seseorang yang menggunakan Ipse-dixitism mengasumsikan secara sepihak premisnya sebagai sesuatu yang disepakati, padahal tidak demikian. Premis yang diajukan dalam argumen seolah-olah merupakan fakta mutlak dan telah disepakati bersama kebenarannya, padahal itu hanya dipegang oleh pemberi argumen, tidak bagi lawannya. Sesat-pikir ini akan berujung pada debat kusir. Contoh: Karena Pancasila merupakan ideologi gagal dalam membangun negara yang kuat dan mensejahterakan rakyatnya, maka kita wajib beralih ke sistem khilafah. Pernyataan Pancasila merupakan ideologi gagal bukanlah sesuatu yang disepakati oleh lawan bicara sehingga tidak tepat jika dijadikan landasan dalam berargumentasi.
6. Proof by Assertion; yaitu fallacy yang argumennya terus-menerus diulang tanpa mengacuhkan kontradiksi terhadapnya. Contoh: Tapi pak direktur, seperti yang telah saya jelaskan selama dua bulan terakhir ini, tak mungkin kita memotong anggaran biaya departemen ini. Tiap posisi dan jabatan di dalamnya amat penting bagi efektivitas kerja dan prestasi departemen. Lihat saja office boy yang selalu mengantarkan kopi, atau mereka yang memunguti penjepit kertas di ruang kerja, maka blablablablablaaa... [dan seterusnya, berbelit-belit] (selama dua bulan cuek terhadap argumen balasan dan terus mengulang perkara yang sama) Begging the Question; yaitu fallacy yang menggunakan argumen yang terkandung dalam premis yang diberikan. Contoh: Bodoh betul penulis buku ini. Nulis buku kok judulnya “Kehidupan Orang-orang Bodoh”.
Menulis buku tentang kehidupan orang-orang bodoh belum tentu merupakan suatu kebodohan. Bisa jadi malah merupakan sebuah kejeniusan. Bodoh tidaknya penulis buku tersebut tidak ditentukan dari tema bukunya melainkan dari kualitas tulisannya yang terkandung dalam isi buku.
7. Burden of Proof; yaitu fallacy yang menyatakan bahwa pembuktian harus dilakukan bukan oleh pembuat klaim, tapi oleh orang lain yang tidak setuju. Fallacy ini mirip
dengan fallacy D1, The argument from ignorance. Contoh: Di kelas, Dede mengatakan bahwa khilafah adalah sistem pemerintah terbaik di dunia. “Silakan tunjukkan bukti bahwa sistem yang ada saat ini lebih baik daripada sistem khilafah,” tantang Dede. Semua diam. “Ini membuktikan bahwa tidak ada yang lebih baik daripada sistem khilafah”, ujarnya. Ucapan Dede mengandung fallacy karena bisa jadi rekan kelasnya tidak tahu khilafah yang disebut-sebut Dede sehingga tidak bisa berkomentar banyak. Seharusnya Dede yang memulai dengan penjelasan sehingga memungkinkan terjadi dialog.
8. Anecdotal; yaitu fallacy yang Menggunakan pengalaman pribadi atau suatu kasus khusus bukannya menggunakan argumen atau bukti yang teruji secara ilmiah. Fallacy
ini biasanya digunakan untuk membantah data statistik. Contoh: Kakekku merokok setiap hari dan umurnya mencapai 90 tahun. Jangan percaya dengan omongan dokter!
Dalam realitanya, dimungkinkan ada sampel yang keluar dari keumuman data. Salah satunya adalah kakeknya.
9. Dicto Simpliciter; yaitu fallacy yang menggunakan penyalahgunaan penalaran induktif ketika data yang digunakan tidak cukup untuk memberikan kesimpulan. Fallacy ini merupakan bentuk khusus dari fallacy D4, Hasty Generalization. Contoh: Damar melihat bahwa ketiga tetangganya, Amir, Boncu, dan Cecep, kehilangan pekerjaan dan hidup susah. Damar menyimpulkan bahwa pemerintahan saat ini dzalim karena telah gagal mensejahterakan rakyat Indonesia yang saat ini hidup susah dan mayoritas pengangguran. Tiga orang sampel tidaklah cukup untuk dijadikan acuan dalam menilai kinerja pemerintah dan kondisi rakyat Indonesia. Damar perlu meneliti kembali dengan sampel lebih besar. Jika tidak bisa, Damar perlu menunjukkan bukti tiga orang sampel yang diamatinya mewakili kondisi rakyat Indonesia secara umum.
10. Personal Incredulity; yaitu fallacy yang terjadi karena tidak bisa memahami konsep yang rumit, maka disimpulkan bahwa hal tersebut tidak mungkin benar. Padahal, yang menjadi permasalahan adalah ketidakmampuan dirinya, bukan perkara yang dibahas. Contoh: A: Setelah mengikuti aktivasi otak, anakku bisa membaca dengan mata tertutup lho. B: Ah, tidak mungkin. Mana ada orang bisa membaca sambil matanya tertutup. Dalam hal ini B melakukan fallacy karena ia menyangkal tanpa mau membuktikan dulu akibat ketidaktahuannya akan adanya kemampuan blindfold reading yang bisa dikuasai oleh seseorang.
11. Tu Quoque; yaitu fallacy yang argumennya menjawab kritikan dengan kritikan ketika seharusnya menjawab argumen lawan. Contoh: Anna memperingatkan David agar tidak lagi merokok karena sudah mengalami gejala kanker paru-paru. David menolak itu karena Anna juga perokok. David melakukan fallacy jenis ini.
12. Composition/Division; yaitu fallacy yang percaya bahwa jika sesuatu berlaku untuk sebagian dari suatu sistem, maka berlaku juga bagi seluruhnya. Begitu juga sebaliknya. Contoh: Anderson tahu bahwa atom itu tidak kasat mata. Anderson juga tahu bahwa tubuhnya terbuat dari atom. Maka dari itu, Anderson percaya bahwa dirinya tidak kasat mata. Fallacy ini merupakan kesalahan dalam berpikir induktif.
13. Genetic; yaitu fallacy yang argumennya men-judge sesuatu itu baik atau buruk berdasarkan asal pernyataan itu/siapa yang menyatakannya. Contoh: Kalo yang bilang itu Kyai X ya sudah jelas baik dan benar lah. Kiyai pun bisa salah dan tidak menguasai berbagai hal. Menempatkan segala hal yang dikatakan oleh seseorang tertentu sebagai kebenaran merupakan sebuah kesalahan berpikir.
14. Appeal to Nature; yaitu fallacy yang argumennya menganggap bahwa segala sesuatu yang “natural” itu baik/valid. Contoh: Jim diberi dua pilihan untuk mengikutipengobatan dokter atau pengobatan alternatif yang obatnya dari bahan-bahan alami. Tanpa menimbang terlebih dahulu Jim memilih opsi pengobatan alternatif karena dia menganggap bahwa segala yang natural itu baik.
15. Guilt by Association; yaitu fallacy yang argumennya menyamakan seseorang dengan orang lain yang berpendapat sama. Pola fallacy ini adalah sebagai berikut: A menyatakan sebuah argumen. B menyatakan argumen yang sama, sedangkan B melakukannya secara konyol, bodoh, atau ngawur. C memandang bahwa A juga sama-sama termasuk orang yang seperti sifat B. Contoh: A melarang mencela pemerintah. B melarang mencela pemerintah, sekaligus secara konyol dan lebay memuji-muji pemerintah secara berlebihan karena sosok idolanya memimpin pemerintahan. C memandang A juga konyol dan lebay karena mempunyai pemikiran yang sama dengan B, yaitu melarang mencela pemerintah. Dalam hal ini C melakukan fallacy.
16. Post hoc, ergo propter hoc; yaitu fallacy yang argumennya berpola “setelah X, maka karena X”. Ini merupakan bentuk khusus dari fallacy D3, false cause. Contoh: Kemarin dia putus dengan pacarnya. Besoknya dia mati. Kasihan dia, mati hanya gara-gara putus cinta. Menghubungkan dua hal yang terjadi berurutan sebagai sebuah pemikiran sebab akibat merupakan sebuah fallacy. Demikianlah kumpulan jenis-jenis logical fallacy yang ada. Semoga dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran bagi kita untuk mampu berpikir benar.