Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Satu Per Dua Tentang Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu
Keputusan pemerintah tentang mekanisme non yudisial menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi I dan II merupakan keputusan pragmatis.
Editor: Dewi Agustina
KEPUTUSAN pemerintah tentang mekanisme non yudisial untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi I dan II seperti disampaikan Menkopolhukam Wiranto dan Komnas HAM, Selasa (31/1/2017) merupakan keputusan pragmatis dan bias politik.
Pilihan ini juga menggambarkan kelemahan serius Komnas HAM, sebagai institusi yang memiliki kewenangan penyelidikan.
Komnas HAM juga telah menyelesaikan penyelidikan dan menyimpulkan adanya dugaan pelanggaran HAM pada kasus TSS I dan II berdasarkan bukti yang cukup.
Komnas HAM periode ini secara terbuka melemahkan dan mengingkari produk kerja komisioner sebelumnya.
Dugaan adanya bias politik pada pilihan rekonsiliasi juga tampak karena posisi Wiranto yang pada periode terjadinya peristiwa pelanggaran HAM adalah pemegang komando atas TNI dan Polri sebelum adanya pemisahan, dimana semestinya termasuk pihak yang harus dimintai keterangan dan pertanggungjawaban.
Dengan demikian, secara moral dan politis, Wiranto tidak memiliki legitimasi untuk memutus pilihan penyelesaian kasus TSS I dan II.
Dalam konstruksi UU 26/2000, mekanisme non yudisial dalam penyelesaian pelanggaran HAM hanya dibenarkan jika secara teknis hukum, sulit diperoleh bukti-bukti yang dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan di pengadilan HAM.
Sementara, untuk kasus TSS, selain bukti-bukti yang berserak dan telah dihimpun oleh Komnas HAM sendiri, saksi-saksi peristiwa juga masih sangat mungkin dimintai keterangan karena masih hidup dan bahkan banyak yang menjadi pajabat negara.
Karena itu pilihan non yudisial adalah langkah keliru dan melawan keadilan publik.
Jokowi harus mengambil sikap tegas, sebagaimana dijanjikan dalam Nawacita dan RPJMN 2015-2019, dimana keputusan pilihan penyelesaian pelanggaran HAM akan dilakukan setelah proses pengungkapan kebenaran terlebih dahulu oleh suatu komite khusus.
Jokowi jangan lengah dengan manuver sejumlah pihak yang menghendaki penyelesaian pelanggaran HAM bertolak belakang dengan janji Jokowi.
Karena itu, Jokowi mesti merealisasikan komitmennya dengan membentuk Komisi Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran dan Keadilan.
Komisi inilah yang akan menentukan pilihan jalur yudisial atau non yudisial untuk menyelesaikan warisan elanggaran HAM masa lalu.
Penulis: Achmad Fanani Rosyidi, Peneliti Hak Asasi Manusia, SETARA Institute