Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ngaji Bareng Cak Nun di PPM Assalam Mojokerto Bertajuk Pandawayudha
Apa saja yang dilakukan, tidak ada benarnya. Berdiri, miring ke kanan miring ke kiri, terbanting ke depan atau terjengkang ke belakang.
Editor: Husein Sanusi
TRIBUNNEWS.COM - Kalau pesawat mengalami turbulence, hati penumpangnya galau, perasaannya hancur dan pikirannya buntu. Apalagi kalau guncangannya semakin menjadi-jadi, seluruh jiwa raga serasa lumpuh.
Apa saja yang dilakukan, tidak ada benarnya. Berdiri, miring ke kanan miring ke kiri, terbanting ke depan atau terjengkang ke belakang. Semua gerakan salah. Semua inisiatif mencelakakan. Segala sesuatu yang biasanya benar, menjadi tidak benar. Ketika dilakukan sesuatu yang sebenarnya salah, bisa menjadi benar. Tidak ada paramenter, logika, proporsi, teori, pengetahuan dan ilmu, yang bisa diberlakukan sebagaimana pada keadaan yang normal.
Kalau kapal bergoyang-goyang ekstrem, mau memeluk istri malah kepala membentur kepalanya. Mau menyodorkan gelas minuman, tumpah ke badan kawan. Semua pergerakan membias, melenceng, bahkan berbalik. Kebenaran menjadi kesalahan, haq menjadi batil, kebaikan menjadi kejahatan, komunikasi menghasilkan kesalahpahaman, kasih sayang menghasilkan pertengkaran.
“Terlanjur” Pancasila
Mungkin tidak persis apalagi separah itu, tetapi kita bangsa Indonesia rasanya sedang mengalami situasi semacam itu. Berlangsung ketidakseimbangan berpikir yang semakin merata. Kemiringan persepsi serta ketidakadilan sikap satu sama lain. Mungkin karena semua pihak mengalami kepanikan subjektif, sehingga berlaku over-defensif, kehilangan presisi logika dan ketegakan analisa atas segala sesuatu. Termasuk terhadap dirinya sendiri.
Kita menjadi kanak-kanak massal, ditindih oleh rasa tidak percaya satu sama lain, sehingga terseret untuk melakukan hal-hal yang membuat kelompok lain semakin tidak percaya. Semua dirundung situasi patah hati sebagai kelompok-kelompok, sehingga egosentrisme membengkak pada masing-masing yang merasa saling terancam. Ukuran-ukuran tentang apa saja menjadi semakin kabur. Wajah kebangsaan kita menjadi tak berbentuk, seperti lukisan abstrak ekspresionis yang dihasilkan oleh tangan bayi yang meronta-ronta, yang di antara jari-jemarinya kita letakkan kuas yang kita sentuhkan pada kanvas sejarah.
Andaikan pada akhirnya terjadi chaos, entah pada tingkat tawur, sweeping, pembakaran-pembakaran sporadis atas wilayah “lawan”, atau penyerbuan-penyerbuan lokal. Atau na’udzu billahi min dzalik demi anak-cucu kita kelak jangan sampai terjadi perang sipil atau pembasmian massal seperti 1965 – kita tinggal berharap kepada “Kami” dari langit atau ekstra dimensi yang lebih lembut.
“Kami” itu maksudnya Tuhan dengan para aparat-Nya: rombongan Malaikat, Jin, makhluk-makhluk lain termasuk Komunitas Mukswa, yang juga merupakan sahabat dan tetangga kita penduduk Indonesia. Mereka yang mengawal detak jantung dan jalannya darah kita, membagi kalori, lemak, karbohidrat, protein, mineral, dll di jasad kita. Juga memastikan gravitasi, menetesnya embun, bersemainya dedaunan, hingga beredarnya matahari dan rembulan. Kenapa tidak juga ditugasi ekstra untuk menolong rakyat kecil Indonesia para kekasih Tuhan?
Sebab seluruh himpunan pengetahuan dan ilmu, dari masa silam, sekarang, maupun masa datang, yang modern maupun tradisional, dari kearifan dusun hingga kecanggihan toga kaum Sarjana – belum pernah saya temukan bagian dari itu semua yang sanggup mengatasi komplikasi permasalahan yang ekstra-unik, ultra-ruwet, dan multi-simalakama khas Indonesia Raya sekarang ini.
Saya memberanikan diri menyebut fenomena “langit” ini karena bangsa kita terlanjur melandasi kebangsaan dan kenegaraannya dengan Pancasila yang sokoguru-nya oleh Ketuhanan Yang Maha Esa.
Akurasi, Presisi, dan Talbis
Andaikan sekarang ini era Nabi Nuh, dan kita semua ingkar kepada Tuhan, sehingga menyakiti hati kekasih-Nya, yakni Ruhullah Nuh itu, lantas menganugerahkan banjir bandang yang menenggelamkan seluruh Nusantara – juklak-juknisnya akan tidak sesederhana dan semudah Bahtera Nuh dahulu kala.
Bagaimana verifikasi siapa-siapa yang akan naik kapal? Nabi Nuh tidak memerlukan penyaringan, sebab semua yang ingkar tidak berminat naik kapal, karena yakin akan bisa selamat tanpa Bahtera Nuh. Tapi kita sekarang sudah punya referensi tentang kasus kapal Nuh. Kita tidak mau disapu habis oleh banjir, maka kita semua akan beramai-ramai mengaku beriman kepada Tuhan dan Nabi Nuh agar diperbolehkan naik kapal. Kita adalah bangsa yang sudah sangat terdidik dalam hal “kutu loncat”. Sangat banyak politisi kita yang menjadi “teladan” perilaku kekutu-loncatan, yang luwes dan dinamis.
Di dalam atmosfir itu, siapa yang menolak kutu loncat, adalah pribadi yang keras kepala, hambegugug nguthowaton, kepala batu, meskipun yang bersangkutan merasa dirinya konsisten dan teguh iman. Dalam situasi normal saja kita tidak selalu memiliki presisi untuk membedakan antara hemat dengan pelit, antara boros dengan dermawan, antara move-on dengan disorientasi, antara kemurahan sosial dengan poligami, antara kearifan dengan kompromi, antara kedewasaan dengan ketidakberdayaan, antara takut dengan mengalah. Terlebih lagi antara kapan merasa bangga kapan merasa hina, miskin itu letaknya di mentalitas ataukah harta benda, atau antara pemimpin dengan penguasa, bahkan antara penguasa dengan boneka.
Maka di tengah turbulence pesawat atau kapal berguncang-guncang hari-hari ini, kita juga kehilangan ketepatan dan keseimbangan, tidak lagi punya akurasi dan presisi ketika menggagas dan merumuskan SARA, Agama, Etnik, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI Harga Mati, Nasionalis dan Islamis. Jalan kita sangka tujuan. Sarana kita anggap pencapaian. Roh dianggap jasad. Lembaga disangka Ideologi. Pemerintah merasa dirinya Negara. Pejabat menyimpulkan dirinya atasannya Rakyat. Tak mengerti pilah antara Negeri dengan Negara. Pengkhianat dinobatkan sebagai Pahlawan.
Pengetahuan kita tinggal satu: yang pasti benar adalah kita. Yang bukan kita, pasti salah, meskipun di lubuk hati kecil ada kans 1% yang bukan kita itu punya kemungkinan untuk benar. Yang pasti benar meskipun bukan kita adalah yang membayar kita. Pesawat kebangsaan kita sedang mengalami super-turbulence. Bahtera NKRI kita sedang terguncang-guncang oleh pertengkaran kita sendiri. Semakin kapal berguncang, semakin kita bertengkar. Dan semakin kita bertengkar, semakin kapal berguncang.