Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Single Mux Berbahaya Bagi Konten Televisi
Rencana pemutakhiran Undang-Undang Penyiaran sebagai pengganti UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran terutama dari implementasi multiplekser tunggal (
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pemutakhiran Undang-Undang Penyiaran sebagai pengganti UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran terutama dari implementasi multiplekser tunggal (single mux) diperkirakan berbahaya bagi produksi konten televisi di Indonesia.
Pakar Komunikasi dan Politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing mengatakan keberadaan single mux dari sisi komunikasi politik akan menjadi pengendali media massa, terutama televisi.
"Migrasi dari media cetak ke online saja amburadul. Ketika revisi UU penyiaran, akan muncul konten abal-abal," ujarnya saat menjadi pembicara dalam Seminar Industri Penyiaran dengan tema "Menyelamatkan Industri Penyiaran Indonesia".
Seminar yang digelar pada Kamis (18/5/2017), di Ballroom The Akmani Hotel Jakarta, itu menghadirkan lima praktisi dan akademisi.
Di antaranya Pakar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing, Pakar Public Policy Universitas Indonesia Riant Nugroho, Pakar Industri Penyiaran/Telekomunikasi Heru Sutadi, Pakar/profesional Penyiaran, mantan Komisioner KPI Dadang Rachmat Hidayat, dan mantan Ketua I Komisi I DPR-RI Mahfudz Siddiq.
Menurut dia, siapapun rezim pemerintah yang berkuasa, penerapan single mux dapat berakibat pada praktik monopoli. Penerapan itu akan dimanfaatkan untuk mengendalikan media massa sesuai keinginan penguasa.
Implementasi UU Penyiaran setelah direvisi diproyeksi hanya akan mempermalukan pemerintah. Sebab, pemerintah hanya diberikan masukkan dari satu sisi saja, tanpa ada kajian secara komprehensif.
"Banyak sekali yang akan dirugikan," tuturnya.
Senada, Pakar Industri Penyiaran/Telekomunikasi Heru Sutadi, menjelaskan penerapan single mux dapat membuat televisi saat ini hanya menjadi penyedia konten. Penguasaan tunggal diproyeksi hanya berdampak pada adanya calo sewa teknologi penyiaran.
Adapun, mantan Ketua I Komisi I DPR-RI Mahfudz Siddiq, meminta agar pemerintah kembali melakukan kajian dengan mengundang berbagai pemangku kebijakan. Hal itu dimaksudkan agar UU yang baru nantinya tidak menimbulkan polemik.
Penyiaran, khususnya lembaga penyiaran swasta (LPS) televisi free to air (FTA), dari perspektif bisnis adalah salah satu industri yang bersifat padat modal, padat teknologi, dan padat kreativitas.
Sifat industri yang demikian itu menyebabkan akan terjadi konsentrasi pasar secara alamiah (naturally). Bentuk pasar persaingan atau kompetisi justru tidak akan menghasilkan titik efisiensi sumber daya Nasional.
Oleh karena itu, secara teoretis bentuk pasar oligopoli akan menghasilkan pareto optimum dalam industri. Analogi yang sama juga terjadi pada (misalnya) industri telekomunikasi, migas, dan penerbangan.
Rencana pemutakhiran Undang Undang Penyiaran sebagai pengganti UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran pada saat ini sudah mendekati tahap akhir.
Rancangan Undang-Undang (RUU) sudah disampaikan oleh Komisi I kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI untuk dilakukan pembahasan dan sinkronisasi.
Terdapat beberapa pasal dalam RUU tersebut yang berpotensi mengganggu pertumbuhan industri penyiaran, baik yang berasal dari sisi teknis, bisnis, dan legal/regulasi.
Sebagai akibat dari “pengingkaran” terhadap sifat-sifat alamiah industri tersebut.
Salah satu potensi kerusakan itu dapat dianalisis dari sisi bisnis. Misalnya, dengan munculnya wacana penetapan multiplekser tunggal (single mux), maka akan terjadi konsekuensi yang luar biasa besar terhadap industri penyiaran.
Dipisahnya eksistensi infrastruktur dengan konten, akan menyebabkan kemunduran yang luar biasa terhadap pelaku industri penyiaran eksisting.
Pemisahan itu akan menyebabkan company value merosot dengan drastis, sehingga perusahaan tidak memiliki kemampuan untuk memproduksi konten berkualitas bagi masyarakat.
Kondisi industri eksisting sebenarnya sudah dalam keadaan yang tidak sehat. Di mana tak satu pun LPS Lokal (skala kecil) yang mampu bertahan dalam industri. Biaya operasional yang tinggi, terutama dalam hal penyediaan konten yang berkualitas, serta kesulitan mendapatkan iklan sebagai satu-satunya sumber revenue, menyebabkan mereka tidak bisa eksis.
Dampak negatif dari semua itu antara lain munculnya fenomena penyajian konten yang terkesan asal-asalan, durasi siaran yang minim, serta “jual-beli” lisensi/izin.
Keadaan industri yang tidak sehat ini dipastikan akan bertambah buruk apabila tidak didukung oleh perangkat regulasi yang mampu mengakomodasikan kepentingan para stakeholder industri penyiaran.
Wakil Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Syafril Nasution menambahkan industri pertelevisian tidak mungkin dijadikan seperti Usaha Kecil Menengah (UKM). Sebab, industri televisi merupakan bisnis padat modal yang harus berinvestasi pada teknologi, studio, transmisi, hingga sumber daya manusia (SDM).
"Jika tidak diatur dengan baik, setiap stasiun televisi hanya akan menghasilkan produksi konten yang tidak bermutu," tuturnya.