Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
“Cermin” God Bless 1980 di 37 Tahun Kemudian
Seniman musik itu tak bedanya pewarta atau jurnalis yang juga peran moral mengabarkan kebajikan termasuk menyampaikan kritisi atas ketimpangan
Editor: Toni Bramantoro
Oleh: Alex Palit
Seniman musik itu tak bedanya pewarta atau jurnalis yang juga peran moral mengabarkan kebajikan termasuk menyampaikan kritisi atas ketimpangan-ketimpangan sosial yang ada dan terjadi di kehidupan sekitarnya.
Ia adalah God Bless. Sebagai seniman musik yang tergabung bernaung dikibaran bendera God Bless, mereka pun memainkan perannya sebagai pewarta yang diekspresikan lewat bahasa lagu.
Seperti yang tercermin di lagu-lagu album “Cermin”, produksi JC Record, yang dirilis tahun 1980, sarat dengan muatan tema sosial kemanusiaan (humanisme) dari kesembilan lagu yang dipajang di album tersebut, seperti Selamat Pagi Indonesia, Cermin, Musisi, Balada Sejuta Wajah, Sodom Gomorah, Anak Adam, Ingat, Insan Sesat, dan Tuan Tanah.
37 tahun kemudian, God Bless berformasikan Achmad Albar (vokal), Ian Antono (gitar), Donny Fattah (bas), Abadi Soesman (kibor) dan Fajar Satritama (dram), merilis kembali versi baru album tersebut dengan mengaransir ulang lagu-lagu tersebut dengan titel “Cermin 7” (2017).
Apa yang diwartakan God Bless di lagu-lagu album “Cermin” 37 tahun silam ternyata masih relevan dan menemukan relevansinya dengan realita kondisi apa yang terjadi dan kita rasakan di hari ini, seperti pada lagu Anak Adam, ciptaan Donny Fattah, yamg berkisah tentang konflik kemanusiaan dengan menggunakan politisasi instrumentasi agama.
Kau dan aku, kita semua anak Adam / Datang dari satu rahim / Namun kini kita saling mendendam / Ini semua karena faham / Iri dengki datang mendera / Fitnah memfitnah / Kinipun beraksi.
Celakanya, kini agama yang sejatinya sebagai sumber pembawa semangat cinta kasih, persaudaraan dan pesan keselamatan bagi umat manusia kini dijadikan instrumentasi pembenaran untuk melakukan tindakan bernuansa provokatif.
Agama kinipun sering dipolitisir sebagai instrumentasi untuk tujuan kepentingan politik atau kekuasaan lainnya.
Bagaimana kita saksikan tebaran-tebaran ujaran kebencinan bernada provokasi agitatif sebagai pembenaran atas nama sentimen primodialisme keagamaan.
Kini pikiran menjunjung tinggi kemanusiaan sedang mengalami krisis dan ujian berat, di mana nilai-nilai kemanusiaan telah terkoyak-koyak terpolarisasi oleh ambisi dan kepentingan atas nama pribadi, kelompok, golongan dan ideologi.
Celakanya lagi manakala tebaran virus-virus ujaran kebencian ini kemudian dibungkus tafsir pembenaran-pembenaran pragmatis atas nama sentimen primodialisme keagamaan demi hasrat kekuasaan atau kepentingan politik.
Tafsir ini kemudian ditanamkan menjadi dan dijadikan instrumentasi pembenaran untuk melakukan penghalalan tindakan-tindakan agresif provokatif ujaran kebencian terhadap mereka yang dianggapnya berbeda paham, beda keyakinan, beda pandangan, atau beda pendapat.
Termasuk pelancaran tindakan-tindakan agresif provokatif ujaran kebencian terhadap mereka yang dianggap beda selera pilihan dengan dirinya.
Di sini grup rock legendaris yang 44 tahun malang-melintang di jagad musik Indonesia God tak lebih dari sekadar pewarta yang mencoba mengekspresikan yang kita rasakan bersama di hari ini lewat pesan bahasa lagu berjudul “Anak Adam”; Dengarkanlah hai kau anak Adam / Hanya nada yang kami nyanyikan / Semoga akan kau dengar..!!!
* Alex Palit, citizen jurnalis “Jaringan Pewarta Independen”, pendiri Forum Apresiasi Musik Indonesia (Formasi) dan Pemimpin Redaksi Bambuunik.com
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.