Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Rapuhnya Jiwa Pancasila
Sepintas tidak ada masalah dengan kampanye ini. Kampanye ini merupakan hal yang lumrah dan wajar. Ia juga sangat baik.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Akhir-akhir ini kampanye #SayaPancasila, #SayaIndonesia mencuat ke permukaan. Dimulai oleh pidato Presiden Joko Widodo kemudian diikuti secara virtual di dunia maya. Bahkan anak-anak kecil yang tak paham Pancasila pun menaruh foto atau memasang profil bergambar atau hastag #Saya Pancasila dan #Saya Indonesia.
Sepintas tidak ada masalah dengan kampanye ini. Kampanye ini merupakan hal yang lumrah dan wajar. Ia juga sangat baik. Sebab secara tidak langsung juga menjadi bagian dari proses sosialisasi Pancasila yang disadari atau tidak sudah hilang dalam kebanyakan memori kita. Bahkan bagi anak-anak usia dini, barangkali mengenal Pancasila saja dan hafal kelima silanya sudah merupakan sebuah keistimewaan. Ini tidak lain karena saat ini anak-anak lebih kenal dengan slogan-slogan lain yang sering didengar, sehingga lebih familiar.
Biasanya salah satu yang membuat anak-anak ‘akrab’ dengan informasi adalah ketika ditayangkan di televisi. Jika sintesa ini yang diambil, boleh jadi lagu Pancasila sudah kalah ‘bersaing’ dibanding lagu milik Partai Perindo yang tiap waktu selalu nongol di TV. Bukan soal kualitas lagu atau indahnya gubahan di dalamnya, tetapi karena promosi dan sosialisasi yang sangat rendah. Apalagi kini Pancasila di banyak sekolah dasar atau tingkat SMP kurang digalakkan lagi?
Melihat hal ini, maka secara tidak langsung slogan #SayaPancasila #SayaIndonesia menjadi semacam iklan gratis dan sosialisasi gratis. Ia tak perlu mengeluarkan biaya besar seperti selama ini. Salah satunya yang kita kenal dengan istilah “Sosialisasi 4 Pilar”.
Namun ketika kita merenungkan dalam-dalam kampanye dari tagline #SayaPancasila dan #SayaIndonesia, kita akan menemukan beberapa persoalan. Di antaranya persoalan pilihan diksi. Penggunaan kata “saya” dalam kampanya ini cenderung bermakna ke-akuan. Tampak ada sisi egoisme di situ, sehingga terkesan bahwa orang lain yang tidak pro kita adalah lawan atau musuh (enemy), sehingga memungkinkan menyulut tradisi gebuk-menggebuk, pukul-memukul, bukan rangkul-merangkul. Secara tidak langsung tagline ini menciptakan sekte baru, perpecahan baru di tubuh bangsa ini.
Tentu ini berbeda dengan penggunaan kata “kita” yang lebih merujuk pada adanya kebersamaan, tidak tunggal. Sebuah kata yang tidak menunjukkan egoisme personal, tapi melibatkan subyek sekaligus obyek, saya dan kalian; ana dan antum. Kata “kita” akan menegasikan pengelompokan kawan dan lawan. Sebab, dalam kata tersebut ada upaya merangkul perbedaan, sehingga kemudian nilai-nilai Pancasila yang terkandung dari pernyataan #SayaPancasila akan lebih terasa.
Bukan Semata Slogan
Persoalan lain adalah menggiatkan Pancasila pada aspek verbal. Padahal Pancasila bukan hanya sekadar omongan, slogan atau kata-kata yang digubah dengan seindah mungkin. Ia menyiratkan makna yang mendalam, setidaknya lima nilai yang kuat di dalamnya, yakni nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Oleh karena Pancasila merupakan seberkas nilai (values), ia akan bermakna ketika ia dibumikan.
Jika kita mencoba kritis terhadap persoalan kebangsaan kita, rasa-rasanya memang agak janggal ketika misalnya pemerintah mengampanyekan #SayaPancasila.
Kenapa? Karena masih banyak kebijakan-kebijakan pemerintah hari ini yang masih jauh panggang dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Ketika kita berbicara tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kita akan bertanya, benarkah keadilan ada di bumi pertiwi ini? Bukankah selama ini kita ‘dihidangkan’ dengan fakta soal kesenjangan sosial antara Si Kaya dan Si Miskin yang masih begitu jauh? Bahkan sebuah lembaga nirlaba yang fokus terhadap kemiskinan Oxfam baru-baru ini menyebut Indonesia adalah salah satu negara dengan ketimpangan si kaya dan si miskin paling parah di dunia. Jumlah miliarder dollarman Indonesia bertambah, dari 1 pada 2002 menjadi 20 orang di 2016.
Empat Taipan terkaya Indonesia dengan Budi dan Michael Hartono yang berada di daftar paling atas, memiliki aset sebesar USD25 miliar. Jumlah ini setara dengan aset 40% orang termiskin dari total penduduk Indonesia yang sekira 250 juta orang. Dengan begitu, empat orang terkaya Indonesia ternyata mengantongi kekayaan setara dengan 100 juta warga miskin. (Okezone, 24 Februari 2017). Ini belum lagi keadilan di bidang hukum, sosial, politik, dan seterusnya.
Lalu, adakah dari Pancasila yang benar-benar diamalkan sepenuh hati di negeri ini? Rasa-rasanya sulit untuk tidak mengatakan masih bolong-bolong. Tidak ada sila dari Pancasila yang benar-benar diamalkan hingga 100 persen.
Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Tentu masih banyak masalah dengan sila ini dalam praktik sehari-hari. Sekadar menyebut contoh maraknya kasus penistaan agama secara tidak langsung merupakan pengabaian terhadap Pancasila sila pertama. Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Ketika melihat nilai-nilai kemanusiaan begitu mudah diabaikan, keadilan dan tindakan yang beradab juga sangat minim, terutama saat kita menyaksikan maraknya ujaran kebencian (hate speech) dan tradisi bullying di media sosial menunjukkan sila ini masih baru pada diamalkan pada level bil lisan, belum bil hal.
Praktik dehumanisme yang salah satunya ditandai dengan maraknya gangster di mana-mana dan begitu murahnya harga nyawa manusia merupakan bentuk penghilangan dimensi kemanusiaan secara mudah. Padahal memberi kehidupan satu orang saja sama dengan menghidupkan manusia semuanya. (QS. Al-Maidah: 32).
Ketiga, Persatuan Indonesia. Indonesia justru tengah terkotak-kotak: ada kanan ada kiri, ada yang mengklaim Nasionalis, ada yang diklaim tidak nasionalis, ada yang disebut Radikal ada yang disebut tidak Radikal. Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Sila ini memiliki makna “Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat. Namun justru yang kita temukan permusyawaratan baik di level parlemen atau di eksekutif seringkali bukan untuk kesejahteraan rakyat. Tradisi voting dalam banyak perkara hanya untuk “menang-menangan”, adu kuat-kuatan. Sehingga begitu banyak kebijakan yang dihasilkan tidak berorientasi pada kepentingan rakyat. Betapa banyak kebijakan suara-suara permusyawaratan suara mayoritas kemudian terdegradasi oleh kepentingan yang mengalahkan suara minoritas.
Bagaimana tidak, di parlemen misalnya suara kritis yang pro-rakyat hanya sering diwakili dua partai oposisi, Gerindra dan PKS. Dua partai ini harus melawan delapan partai politik di parlemen yang pro-rezim Jokowi. Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah pertanyaan besar bangsa ini: Keadilan bangsa Indonesia yang mana? Betapa banyak kesenjangan antara orang yang tinggal di kota dan di desa orang kaya dan miskin, bahkan masyarakat di Jawa dan di luar Jawa. Betapa banyak kesenjangan dalam bidang ekonomi, pendidikan, politik, budaya dan hukum kita.
Jiwa Pancasila
Kenapa ini terjadi? Karena dalam berbangsa, Pancasila belum dibumikan secara kaffah dan secara totalitas. Pancasila baru pada level kulit, belum pada isi; baru pada level slogan belum pada substansi. Pancasila baru sebatas kata-kata, bukan perwujudan dari kata-kata itu sendiri. Pengamalan Pancasila baru sampai pada level fisik, belum sampai pada jiwa.
Boleh-boleh saja ketika Pancasila dihafal di luar kepala, bahkan lagunya pun tetap dihafap meski dibolak-balik. Tetapi sekadar menghafal tidaklah cukup. Bukankah banyak koruptor itu hafal bait-bait Pancasila secara sempurna? Mereka hafal Pancasila tetapi Pancasila yang mereka hafal baru sampai pada level kepala, belum pada pikiran.
Atau ia sudah sampai pada pikiran, tetapi belum menyentuh level hati apalagi jiwa. Akibatnya Pancasila tak lebih dari sekedar seonggok kisah rentetan bait-bait yang lepas dari perenungan dan penjiwaan, untuk kemudian menjadi pengejawantahan.
Pancasila harus hidup. Ia tidak boleh berdiri di menara Gading dengan hanya berdiri sebagai konsep, hanya sebagai panduan semu yang tidak teraktualisasi ke dalam kehidupan nyata. Pancasila harus mewarnai kehidupan politik, ekonomi, dan yang terpenting penegakan hukum (law enforcement) yang dalam beberapa waktu terakhir mengalami distrust karena dipandang banyak mengabaikan aspek keadilan. Bahkan hukum dianggap hanya jadi alat untuk melakukan kriminalisasi terhadap ulama ataupun tokoh-tokoh yang kritis terhadap penguasa. Padahal Pancasila dengan tegas menyatakan adanya sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Barangkali Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang dibentuk Presiden di bawah kepemimpinan Yudi Latif bisa menjawab persoalan-persoalan ini. Pancasila menjadi sumber dari segala sumber kebijakan di negeri ini, baik di level Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Meskipun lembaga ini kata Yudi berbeda dengan lembaga serupa yang ada di era Orde Baru seperti Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dan program Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4), tetapi yang paling penting adalah substansi, penghayatan sekaligus pengamalan Pancasila itu sendiri.
Oleh: Moh. Ilyas
(Pemerhati Sosial dan Politik; Alumnus Pascasarjana Politik UI)