Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners

Tribunners / Citizen Journalism

Jaksa Agung Sedang Berpolitik Praktis dalam Konflik KPK dan Pansus Hak Angket

Pernyataan jaksa agung akan mempertimbangkan untuk membuka kembali kasus sarang burung walet Novel Baswedan, seakan-akan sedang memancing di air keruh

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Jaksa Agung Sedang Berpolitik Praktis dalam Konflik KPK dan Pansus Hak Angket
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Suasana lanjutan sidang perkara pengujian UU MD3 dengan objek pelaksanaan hak angket kepada KPK di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (5/9/2017). Sidang lanjutan tersebut beragendakan mendengarkan saksi ahli dari pemohon yang berupa mendengarkan keterangan Bambang Widjojanto tentang pengawasan, proses penanganan perkara, dan pelemahan yang terjadi di KPK. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

PERNYATAAN Jaksa Agung H.M Prasetyo dalam RDP dengan komisi III DPR RI tanggal 11 September 2017, bahwa "akan mempertimbangkan untuk membuka kembali kasus sarang burung walet Novel Baswedan" yang sudah di SKP2-kan, jika ada desakan luar biasa atau ada desakan dari DPR, seakan-akan sedang "memancing di air keruh".

Ini sikap plintat plintut atau labil seorang Jaksa Agung, karena mudah berubah mengikuti arus kemana arah politik praktis disasar.

Ini memang sangat tidak menguntungkan bagi Kabinet Kerja Jokowi, karena seorang Jaksa Agung harus memiliki sikap tegas, konsisten dan akuntable searah dengan arah kebijakan politik Presidennya.

Jika seorang Jaksa Agung mudah didikte oleh arus desakan massa atau kekuatan politik praktis di DPR RI, bahkan punya agenda tersendiri, maka loyalitas Jaksa Agung H.M. Prasetyo, sesungguhnya tidak lagi kepada Presiden Jokowi.

Tetapi kepada kepentingan pihak ke tiga yang dengan mudah menggerakkan massa atau dengan mudah menggerakkan DPR untuk tujuan lain.

Inilah yang sangat disayangkan karena sikap demikian menunjukkan bahwa H.M Prasetyo diduga memiliki agenda tersembunyi dan lebih senang bermain di wilayah politik praktis bersama DPR RI ketimbang memfokuskan diri pada peningkatkan mutu profesionalisme Jaksa dalam tugas-tugas penegakan hukum.

Jaksa Agung terkesan seperti pejabat yang kurang kerjaan dan mendadak reaktif di DPR ketika kasus Novel Baswedan dan Direktur Penindakan KPK Brigjen Aries Budiman sedang menjadi perbincangan hangat di Komisi III DPR RI.

BERITA TERKAIT

Di sisi lain Jaksa Agung seolah-olah menyesali pilihan sikap institusinya yang telah meng-SKP2-kan kasus Novel Baswedan, sehingga sekarang saatnya unjuk kekuatan bahwasannya Jaksa Agung bisa saja mengubah keputusannya untuk membawa Novel Baswedan duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa.

Ini namanya politik mencari simpati di panggung di Komisi III DPR RI, untuk suatu tujuan lain di luar substansi RDP yang biasanya mebahas kinerja Kejaksaan Agung dan persoalan lainnya.

Padahal Jaksa Agung seharusnya berusaha meredam dan menciptakan keteduhan pada saat banyak pihak ramai-ramai melaporkan Novel Baswedan tidak saja oleh rekan satu koleganya di KPK tetapi juga oleh rekannya sesama Polisi lainnya terkait tugas-tugas Novel Baswedan di KPK yang menjadi konten bahasan di Pansus Hak Angket KPK di DPR.

Di sini Jaksa Agung seperti labil di hadapan Komisi III sehingga mengeluarkan pernyataan yang kontradiktif dan tidak konsisten lagi dengan alasan daluarsa yang menjadi dasar dikeluarkannya SKP2 atas nama Novel Baswedan.

Padahal dari segi penuntutan, posisi Jaksa Agung H.M. Prasetyo sudah tidak punya kepentingan secara hirarki dengan kasus Novel Baswedan yang saat ini dibahas dalam Pansus Hak Angket KPK.

Apalagi SKP2 untuk Novel Baswedan sudah dikeluarkan sejak tanggal tanggal 22 Februari 2016, karena jatuh tempo kadaluarsa terhitung sejak tangal 18 Februari 2016.

Pertanyaannya, mengapa H.M. Prasetyo bisa mudah labil dan mengeluarkan statemen mengancam akan membuka kembali kasus Novel Baswedan yang sudah ditutup secara sah dengan SKP2 tanggal 22 Februari 2016, atas alasan "tidak cukup bukti" dan alasan "daluarsa" yang jatuh tempo sejak tanggal 18 Februari 2016.

Publik akan menilai bahwa Jaksa Agung sedang mencari simpati DPR sekaligus mau berpolitik praktis, tanpa mengindahkan sikap Presiden Jokowi terhadap persoalan KPK agar tetap kuat.

Jika Jaksa Agung H.M. Prasetyo tidak mampu menjaga posisinya sebagai Pembantu Presiden, lantas lebih memilih berpolitik praktis, maka pilihan yang tepat adalah "pecat" atau mundur dari posisi Jaksa Agung dan kembalilah kepada habitanya yaitu Partai Politik.

Penulis: Petrus Selestinus, Koordinator TPDI & Advokat Peradi

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
berita POPULER
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas