Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Hakim Cepi Iskandar Memiliki Niat Untuk Memotong Matarantai Keterlibatan Setya Novanto
Pertimbangan hukum dan amar putusan hakim praperadilan, Cepi Iskandar, dalam perkara Setya Novanto, akan berimplikasi merusak pola, sistem dan strateg
Ditulis oleh Petrus Selestinus, Kordinator TPDI/Advokat Peradi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pertimbangan hukum dan amar putusan hakim praperadilan, Cepi Iskandar, dalam perkara Setya Novanto, akan berimplikasi merusak pola, sistem dan strategi penyelidikan dan penyidikan KPK, Polri dan Kejaksaan yang sudah berlangsung selama 36 tahun usia KUHAP.
Putusannya bahkan berpotensi menimbulkan anomali penegakan hukum, semata-mata demi mewujudkan niat untuk menyelamatkan Setya Novanto dan kawan-kawan dari jerat korupsi e-KTP.
Kita tidak temukan pertimbangan hukum putusan praperadilan hakim Cepi Iskandar secara substantif, mengarah kepada perbaikan penegakan hukum yang progresif dalam perkara korupsi.
Melainkan substansi pertimbangan hukumnya telah mendiskreditkan profesionalime penyelidik dan penyidik di semua lembaga penegak hukum, khususnya soal sprindik, penetapan status tersangka dan penggunaan alat bukti dalam perkara yang dipisah.
Pertimbangan hukum dan amar putusan hakim Cepi Iskandar, bahwa sprindik dan penetapan status tersangka Setya Novanto sebagai tidak sah, sebagai sikap yang tidak konsisten dengan konstruksi yuridis mengenai hubungan antara penyelidikan dengan penyidikan menurut UU KPK sebagai satu kesatuan.
Bukankah sprindik dan penetapan status tersangka Setya Novanto itu berdasarkan pada hasil penyelidikan KPK yang sah?
Dalam perspektif pasal 44 UU KPK, maka kalau sprindik dinyatakan tidak sah maka hasil penyelidikannyapun harus dinyatakan tidak sah dan dibatalkan.
Pertanyaannya adalah, mengapa Hakim Cepi Iskandar tidak membatalkan hasil penyelidikan penyelidik KPK yang merupakan dasar penerbitan sprindik dan penetapan status tersangka Setya Novanto?
Di sisi lain hakim Cepi Iskandar justru sedang memainkan peran ganda, di satu pihak seolah-olah ingin mengoreksi kinerja KPK dan menjawab kebutuhan pelayanan keadilan bagi pencari keadilan Setya Novanto, tetapi di pihak lain sesungguhnya hakim Cepi Iskandar telah terjebak dalam skenario pihak ketiga.
Sehingga sikap dan pandangannya dalam merumuskan pertimbangan hukumnya, hanya sekedar memberikan justifikasi kepada putusannya tanpa mempertimbangkan dampaknya seolah-olah mau menggurui penyidik KPK, Polri dan Kejaksaan dengan merusak sistim, pola dan strategi penyelidikan dan penyidikan yang sudah berlangsung selama 36 tahun berlakunya KUHAP.
Ini akan berimplikasi negatif karena akan melahirkan resistensi dari penyidik Polri, Kejaksaan dan KPK, terlebih-lebih para napi yang status tersangkanya diumumkan bersamaan dengan dikeluarkannya sprindik selama bertahun-tahun.
Selama ini sudah jutaan orang dengan jutaan sprindik dikeluarkan bersamaan waktunya dengan penetapan status tersangka seseorang (terakhir kasus Ahok), sebagai bagian dari startegi berdasarkan hasil penyelidikan penyelidik.
Hakim Cepi Iskandar telah mengabaikan fungsi, peran dan karakteristik penyelidikan dan penyidikan di KPK terutama tentang keberhasilan penyelidik KPK mengungkap keterlibatan Setya Novanto dalam kasus korupsi e-KTP, lantas mengambil kesimpulan sesat seolah-olah penetapan sprindik yang bersamaan waktunya dengan penetapan status tersangka seseorang sebagai telah melanggar KUHAP dan asas-asas hukum dalam pelaksanaan tugas KPK.