Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Tindakan Hakim Cepi Iskandar Sudah Masuk Kategori Kejahatan Korupsi
KPK masih memiliki kewenangan dan kesempatan setiap saat untuk menangkap dan menahan Setya Novanto.
Editor: Dewi Agustina
KPK masih memiliki kewenangan dan kesempatan setiap saat untuk menangkap dan menahan Setya Novanto, berdasarkan ketentuan pasal 16 dan 17 KUHAP jo. pasal 44 UU KPK.
Karena KUHAP dan UU KPK memberi wewenang kepada penyelidik KPK untuk melakukan penangkapan terhadap Setya Novanto dan menyerahkan kepada KPK untuk diberi status Tersangka dan ditahan demi kepentingan Penyidikan dan Penuntutan.
Di sini KPK tidak kehilangan sedikitpun wewenangnya, bahkan akan mengejar terus Setya Novanto hingga membawanya ke Persidangan.
Apalagi KPK belum menggunakan seluruh wewenangnya karena masih menjaga martabat dan kehormatan lembaga DPR RI karena apapun reputasi Setya Novanto dia adalah Ketua DPR RI dan Ketua Umum DPP Golkar.
Dengan demikian maka pandangan Hakim Cepi Iskandar bahwa KPK tidak menjaga harkat dan martabat Setya Novanto, karena tidak memberikan Status Tersangka di ujung Penyidikan, adalah tidak berdasarkan hukum.
KPK justru dapat mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan terhadap Setya Novanto kapan saja sebelum dikeluarkan Surat Perintah Penyidikan No.Sprin.dik-56/01/07/2017, tanggal 17 Juli 2017.
Namun kewenangan itu tidak digunakan KPK dan itu sah-sah saja demi menjaga martabat seseorang dalam hal ini Setya Novanto, sesuai asas-asas Penyelidikan dan Penyidikan menurut UU.
Apa yang harus dilalukan oleh KPK terhadap Setya Novanto pasca Putusan Praperadilan, mengingat secara de fakto Status Tersangka Setya Novanto sudah dibatalkan dan Penyidikannya dihentikan berdasarkan putusan Hakim Cepi Iskandar.
Yang perlu dilakukan segera oleh Penyelidik KPK adalah menggunakan wewenangnya menangkap Setya Novanto pada saat hendak meninggalkan Rumah Sakit.
Untuk selanjutnya membawa ke KPK guna menghadapi pemeriksaan selama 1 x 24 jam dan bersamaan dengan itu KPK mengeluarkan Sprindik dan Status Tersangka baru bagi Setya Novanto untuk ditahan, sebagai pemenuhan terhadap Putusan Hakim Cepi Iskandar.
KUHAP maupun UU Tipikor, tidak memberikan batasan apakah Penetapan Tersangka seseorang itu harus di awal atau di ujung Penyidikan.
Karena hal itu sepenuhnya merupakan wewenang dan pertimbangan subyektif Penyidik sebagai bagian dari Strategi Penyidikan dan bergantung kepada ditemukannya sekurang-kurangnya dua alat bukti, sebagai bukti permulaan yang cukup.
Apalagi antara Penyelidikan dan Penyidikan tidak dapat dipisahkan, karena di tahap Penyelidikan, Penyelidik dibebankan oleh UU harus menemukan sekurang-kurang dua alat bukti untuk menyangka siapa kira-kira sebagai pelakunya dengan kewenangan melakukan pemeriksaan saksi, penyitaan alat bukti, penggeledahan, penangkapan dll, bahkan bisa menghentikan Penyelidikan.
Karakteristik Penyidikan KPK, menempatkan Penyidikan KPK bergantung kepada hasil Penyelidikan dari Penyelidik, sebagimana diatur dalam Pasal 44 UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK, yang mensyaratkan Penyelidik KPK menemukan "bukti permulaan yang cukup" sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti adanya dugaan tindak pidana korupsi (kecuali OTT).
Jika pada tahap penyelidikan, Penyelidik tidak menemukan "bukti permulaan yang cukup" KPK menghentikan Penyelidikan.
Dengan demikian terdapat perbedaan karakteristik penyelidikan dan penyidikan di Kepolisian/Kejaksaan dengan di KPK, dimana di Kepolisian atau Kejaksaan Penyidikan dapat dihentikan dengan SP3 sedangkan di KPK tidak ada.
Alasan Hakim Cepi Iskandar bahwa alat bukti untuk Terdakwa Irman, Sugiharto dan Andi Narogong tidak bisa dipakai oleh KPK untuk memeriksa dan menetapkan Setya Novanto sebagai Tersangka, juga tidak memiliki landasan hukum, dari mana argumentasi itu muncul dibenak Hakim Cepi Iskandar.
Sementara tidak ada aturan yang melarang, toh Hakim seharusnya menyadari bahwa antara Tersangka/Terdakwa Irman, Sugiharto dan Andi Narogong bersama-sama dengan Setya Novanto dkk berada dalam satu rangkaian tindak pidana korupsi e-KTP secara bersama-sama, yang demi kepentingan teknis pembuktian di persidangan Pengadilan Tipikor perkaranya displit oleh Penyidik dan Penuntut Umum untuk keperluan pembuktian dalam persidangan lainnya.
Dalam berbagai putusan Hakim, terkait alat-alat bukti untuk tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama, Hakim selalu mempertimbangkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang meminta agar beberapa alat bukti lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara lain yang terkait dengan perkara Terdakwa lain yang berkas perkaranya displit, dinyatakan tetap berada dalam berkas karena akan dipergunakan untuk keperluan perkara lain.
Mengapa di dalam kasus Praperadilan Setya Novanto, Hakim Cepi Iskandar justru bersikap lain menyatakan tidak boleh dipakai untuk menetapkan Setya Novanto sebagai Tersangka.
Dari Alasan dan Pertimbangan Hukum Hakim Cepi Iskandar di atas, nampak dengan jelas bahwa Hakim Cepi Iskandar memiliki niat untuk "Menghalangi Penyidikan" dengan cara memotong mata rantai keterlibatan Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi e-KTP demi meloloskan Setya Novanto dkk dari ancaman pidana korupsi dan mencoba melakukan pembusukan terhadap proses persidangan yang sedang berjalan di persidangan Pengadilan Tipikor, baik terhadap Terdakwa Irman, Sugiharto dan Andi Narogong, maupun nantinya untuk Terdakwa Setya Novanto dkk, jika KPK meneruskan perkara Setya Novanto ke persidangan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Tindakan Hakim Cepi Iskandar sudah masuk dalam kategori kejahatan korupsi karena menghambat penyidikan korupsi e-KTP.
Penulis:
Petrus Selestinus
Koordinator TPDI & Advokat Peradi