Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kritikus Sastra: Syarat Lahirnya Angkatan Puisi Esai Sudah Tepenuhi
Kritikus sastra Narudin Pituin menyatakan syarat berdirinya angkatan puisi esai di tahun 2018 terpenuhi.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNERS - Kritikus sastra Narudin Pituin menyatakan syarat berdirinya angkatan puisi esai di tahun 2018 terpenuhi.
Baca: Mario Gomez Isyaratkan Lepas Beberapa Pemain Persib Bandung
Itu bisa dilihat dari banyaknya karya yang lahir menggunakan puisi esai, sepanjang lima tahun ini. Bentuk dan isi puisi esai sudah berbeda dengan puisi pada umumnya.
Lima tahun lalu saya sebenarnya priharin, ujar Narudin, mengapa tak ada pembaruan dalam puisi kita.
Ketika teknologi dan dunia ekonomi mengalami perubahan akibat era digital, dunia sastra sudah lama beku. Isi dan bentuk puisi yang hadir, dari itu ke itu saja.
Namun lima tahun belakangan ini terjadi kehebohan dunia puisi Indonesia. Hadirnya total 70 buku puisi dengan bentuk puisi yang panjang, berbabak, lengkap dengan catatan kaki menggambarkan batin individu tapi dalam kisah sosial yang nyata.
Sebanyak 250 penyair, penulis, aktivis sejak lima tahun terakhir, dari Aceh hingga Papua, menuliskan pola puisi yang berbeda.
"Saya selaku kritikus sastra, mengamini bahwa sudah terpenuhi syarat lahirnya angkatan baru puisi. Ini angkatan puisi esai. Nama angkatan diambil dari bentuk puisi yang kini sedang hot."
Angkatan ini sudah berbeda bentuk dan tema isinya dibandingkan dengan angkatan puisi era Amir Hamzah, Takdir Alisjabana, Chairil Anwar atau Sutardji Calzoum Bachri.
Denny JA bisa disebut sebagai pencetus angkatan puisi esai. Namun ada generasi pendiri, atau founding fathers lain yang berdiri bersama sang pencetus. Saya bisa sebut banyak sekali nama mereka dari Aceh hingga Papua.
Dari pulau Sumatra antara lain D Kemalawati, Fatin Hamama, Anwar Putra Bayi, Isbedy Stiawan. Dari pula Jawa: Ahmad Gaus, Hendri TM, Gunoto Saparie, Genthong HSA. Dari Kalimantan, Sulawesi dan Papua, antara lain Muhammad Thobrani, Pradono, Hamrie Manoppo, hingga FX Purnomo.
Mengenai maraknya petisi yang anti puisi esai, menurut Narudin, selaku kritikus sastra, itu gejala yang lazim dalam sejarah sastra. Selalu ada penjaga status quo yang gusar atas apapun yang baru.***