Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Sekali Lagi tentang PT
Yang paling banyak diperdebatkan dari kelima isu tersebut adalah soal ambang batas pencalonan Presiden.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Syamsuddin Radjab
Dosen Hukum Tata Negara UIN Alauddin Makassar dan Direktur Eksekutif Jenggala Center
TRIBUNNEWS.COM - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 53/PUU-XV/2017 yang dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum pada Kamis (11/1) kembali menjadi perdebatan publik dan memantik pro kontra soal ambang batas pencalonan Presiden (presidential threshold/PT) baik dikalangan politisi maupun akademisi.
Sejak pembahasan RUU Pemilu, ada lima isu krusial yang menjadi perdebatan sengit di Senayan yakni soal ambang batas parlemen, metode konversi suara, alokasi kursi per dapil, sistem pemilu dan PT sendiri.
Yang paling banyak diperdebatkan dari kelima isu tersebut adalah soal ambang batas pencalonan Presiden.
RUU Pemilu disahkan oleh DPR dalam rapar paripurna pada Jumat (21/7/2017) pagi dini hari, kendatipun empat fraksi yakni Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS melakukan aksi walk out saat pengesahan RUU menjadi UU karena tidak sepakat dengan opsi voting atas soal ambang batas pencalonan Presiden.
RUU Penyelenggaraan Pemilu kemudian menjadi UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Seolah belum berakhir, beberapa pihak akhirnya mengajukan judicial review atas UU Pemilu terkait ambang batas pencalonan Presiden ke MK dengan Perkara Nomor 44/PUU-XV/2017, 53/PUU-XV/2017, 59/PUU-XV/2017, 70/PUU-XV/2017, 71/PUU-XV/2017 dan 72/PUU-XV/2017.
Dalam Pasal 222 UU Pemilu dinyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.
Musabab pengujian Pasal 222 diatas karena adanya Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 yang memutuskan pelaksanaan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak pada tahun 2019 dan Pemilu seterusnya.
Putusan MK diatas tidak serta merta berlaku pada pemilu 2014 karena tahapan pemilu telah dan sedang berjalan sehingga dikwatirkan terganggu.
Sementara Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 dalam Putusan MK No. 53/PUU-XV/2017 dinyatakan bertentangan dengan UUDN RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Entah disengaja atau tidak, dengan masa persidangan selama kurang lebih lima bulan, putusan ini baru dibacakan ditengah verifikasi faktual terhadap Partai Politik peserta pemilu sehingga verifikasi partai lama tidak dapat dilaksanakan.
Inkonsistensi Penalaran
Dalam Putusan MK No. 53/PUU-XV/2017, pendapat Mahkamah terhadap Pasal 222 UU Pemilu mengalami inkonsistensi penalaran hukum dalam uraiannya sehingga lebih terkesan menjadi “corong” pemerintah dan DPR dibandingkan sebagai lembaga penafsir tunggal atas Pasal yang dinilai bertentangan dengan konstitusi (UUDN RI 1945).