Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Analisis Kerancuan Peraturan Mendagri 1/2018
Mendagri sendiri berpandangan bahwa Pjs Gubernur tidak melanggar peraturan perundang-undangan bahkan beliau rela dicopot
Editor: Malvyandie Haryadi
PENULIS: Syamsuddin Radjab
Dosen Hukum Tata Negara UIN Alauddin, Makassar;
Direktur Eksekutif Jenggala Center
TRIBUNNERS - Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 1 Tahun 2018 baru saja ditanda tangani pada 9 Januari 2018 merevisi ketentuan Permendagri No. 74 Tahun 2016 Tentang Cuti Diluar Tanggungan Negara Bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Perubahan tiba-tiba ini kemudian diikuti dengan pernyataan Mendagri (25/1) bahwa akan menunjuk dua Periwra Tinggi (Pati) Polri yakni Irjen Pol M. Iriawan (Asops Mabes Polri) yang akan ditempatkan sebagai penjabat sementara (Pjs) di Provinsi Jawa Barat dan Irjen Pol Martuani Sormin (Kadiv Propam Polri) di Sumatera utara.
Polemik Pjs Gubernur telah berlangsung dengan argumen masing-masing pihak. Mendagri sendiri berpandangan bahwa Pjs Gubernur tidak melanggar peraturan perundang-undangan bahkan beliau rela dicopot apabila langkahnya dinilai salah. Persoalannya bukan dicopot atau tidak tapi apakah sesuai dengan aturan atau tidak.
Salah satu yang dijadikan rujukan pembenaran kebijakan tersebut adalah Pasal 4 ayat (2) Permendagri No. 1/1998 yang secara mendasar telah mengubah norma sebelumnya yang diatur dalam ketentuan Permendagri No. 74 Tahun 2016 dengan menambah frasa “...setingkat dilingkup pemerintah pusat...” yang sebelumnya berbunyi lengkap “Pelaksana Tugas Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya Kementerian Dalam Negeri atau Pemerintah Daerah Provinsi”.
Frasa “Kementerian Dalam Negeri” diubah dan diperluas maknanya menjadi lingkup pemerintah pusat yang berarti semua kelembagaan negara ditingkat nasional dapat ditunjuk sebagai Pjs Gubernur tanpa memerhatikan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) maksud dan tujuan pembentukan kelembagaan negara sebagai perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Hal ini lah menjadi pangkal masalah sebenarnya.
Hierarkhi Peraturan
Pembentukan kelembagaan negara seperti kepolisian diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 dengan tupoksi yang jelas untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memerikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan ke pada masyarakat.
Demikian pula dengan pembentukan Kemendagri, yakni untuk mengurus pemerintahan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Perpres No. 11 Tahun 2015 termasuk urusan pemerintahan daerah sesuai UU No. 23 Tahun 2014 yangkemudian diubah menjadi UU No. 9 Tahun 2015 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).
Jaksa Agung (26/1), Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto (30/1) telah menyampaikan pernyataan tegas menolak anggota TNI ditarik-tarik masuk dalam jabatan politik termasuk rencana penunjukan Pjs Gubernur oleh Mendagri, Tjhajo Kumolo, kecuali Kepolisian yang mau dibawahi Kemendagri.
Pernyataan tegas dua tokoh tersebut jelas menampar wajah Kemendagri dan dengan sendirinya membatalkan makna perluasan frasa “dilingkup pemerintah pusat” menjadi tidak relevan dan tidak berlaku lagi sehingga dapat dikatakan gugur dengan sendirinya.
Dalam pembentukan peraturan menteri (Permen) ada tata aturannya yang biasa diatur dalam Permen tersendiri atau badan/kelembagaan negara mulai dari tahapan perencanaan, penyusunan, penetapan dan pengundangan.
Ketentuan pembentukan atau perancangan Permen harus sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2014 sebagai peraturan pelaksanaannya.
Permen bukan hierarki peraturan perundang-undangan, namun demikian keberadaannya tetap diakui sebagai salah satu intrumen hukum untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan diatasnya yang secara jelas mendelegasikannya (pemberian kewenangan mengatur/regeling).