Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kritikus: Kontroversi Puisi Esai Paling Heboh Sejak Kemerdekaan
Sudah hadir 250 penulis puisi esai di seluruh provinsi, dari Aceh hingga Papua. Ini jumlah yang sangat meyakinkan bagi lahirnya sebuah angkatan.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNERS - Banyak angkatan puisi Indonesia sudah lahir. Tapi lahirnyanya angkatan puisi esai di tahun 2018 adalah yang paling heboh sejak era kemerdekaan.
Demikian dinyatakan kritikus sastra Narudin Pituin dalam debat pro dan kontra puisi esai, Jumat (16/2/2018).
Selain Narudin, dalam debat tersebut juga hadir mereka yang tidak setuju dengan puisi esai, seperti Saut Situmorang, Eko Tunas, dan penulis puisi esai: Krt Agus Nagoro.
Baca: Ruben Onsu dan Keluarganya Bagi-bagi Angpao
Ini debat pertama dari serial enam kali debat. Penyelenggaranya: Yayasan Budaya Guntur yang dipimpin Isti Nugroho.
Dalam keterangan tertulis yang diterima, Narudin berpendapat syarat lahirnya angkatan puisi esai terpenuhi.
Sudah ada 40 buku dan segera menjadi lebih 70 buku puisi esai yang ditulis.
Sudah hadir 250 penulis puisi esai di seluruh provinsi, dari Aceh hingga Papua. Ini jumlah yang sangat meyakinkan bagi lahirnya sebuah angkatan.
Terbukti pula puisi esai berbeda dari puisi sebelumnya karena hadirnya catatan kaki. Ini jenis puisi yang menyatukan fakta dan fiksi.
Dengan menggunakan kerangka ahli genre David Fishelov, puisi esai sahih bisa diklaim sebagai genre puisi baru. Sah pula genre baru puisi ini digagas penyair yang juga konsultan politik: Denny JA.
Menurut Narudin puisi esai pun bisa diklaim kontroversi terheboh sejak era kemerdekaan.
Penyebabnya, kontroversi ini terjadi di era social media. Para ahli hingga orang awam sekalipun bisa terlibat kontroversi. Media sosial membuat mereka cepat dan masif menyebarkan argumennya.
Fasilitas medsos ini tak dimiliki oleh kontroversi sastra sebelumnya, baik sastra kontekstual, lekra versus manikebu, hingga polemik kebudayaan.
Yang kini diperlukan, ujar Narudin, adalah argumen yang lebih bernas berdasarkan riset, dan dituliskan dalam bentuk makalah. Ini penting agar kontroversi tidak terjatuh menjadi like and dislike personal, tapi debat yang memperkaya sastra.