Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mengadang Perang Dagang
Perang dagang atau dalam bahasa Inggris disebut dengan trade war banyak diperbincangkan akhir-akhir ini.
Editor: Toni Bramantoro
Namun, sebagaimana perang dengan penggunaan senjata nuklir, perang dagang juga memiliki dampak buruk. Salah satu indikator dapat terlihat pada pertumbuhan ekonomi global.
Bloomberg Economics dalam laporan yang dirilis, Senin 13 Maret 2018, memproyeksikan ekonomi dunia akan tumbuh 0,5 persen lebih rendah pada 2020 dibandingkan jika kebijakan Trump tidak dibuat.
Ekonomi AS juga terkoreksi sekitar 0,9 persen pada 2020 dikomparasikan dengan situasi tanpa kenaikan bea masuk baja dan aluminium AS. Sedangkan bagi Indonesia, perang dagang juga berpotensi membuat pertumbuhan ekonomi tertekan.
Hal tersebut terjadi karena Cina sebagai mitra dagang terbesar AS, berpotensi mengurangi impor, tidak terkecuali dari Indonesia. Itu artinya, ekspor Indonesia dapat mengalami kontraksi.
Hal tersebut patut diwaspadai. Sebab, komponen ekspor merupakan salah satu motor pertumbuhan ekonomi. Badan Pusat Statistik mencatat ekspor memberikan kontribusi sebesar 20,37 persen dari struktur produk domestik bruto (PDB) pada tahun lalu dengan pertumbuhan mencapai 9,09 persen.
Belajar dari CPO
Jika dirunut, Indonesia sudah memiliki pengalaman menghadapi perang dagang. Baik secara tidak langsung seperti yang dipicu AS maupun secara langsung.
Perang dagang secara langsung yang sekarang menjadi perhatian pemerintah adalah langkah Parlemen Uni Eropa melarang penggunaan minyak kelapa sawit mentah (CPO) sebagai bahan baku biofuel mulai 2021.
Parlemen Uni Eropa menilai biofuel yang berbahan baku CPO tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap penurunan emisi gas rumah kaca. Apabila permintaan CPO terus meningkat, maka pembukaan lahan perkebunan akan membidik wilayah-wilayah rentan seperti gambut.
Penilaian Parlemen Eropa tak jauh berbeda dengan kampanye negatif terhadap CPO Indonesia beberapa tahun lalu seperti kelapa sawit ditanam di atas lahan yang dibuka lewat pembalakkan liar.
Untuk menghadapi potensi perang dagang serupa di masa mendatang, maka pemerintah mau tidak mau harus memperluas pasar ekspor.
Jangan hanya bergantung kepada negara atau kawasan zaman old seperti AS, Cina, India, dan Uni Eropa. Indonesia juga harus mulai membidik negara-negara di kawasan lain antara lain Afrika maupun Amerika Selatan.
Salah satu langkah yang sudah diinisiasi namun belum maksimal adalah peran duta besar. Tanggung jawab duta besar lewat atase, dituntut untuk bekerja lebih ekstra.
Utamanya bagaimana mengupayakan peningkatan ekspor Indonesia dengan berperan aktif menyosialisasikan produk andalan Indonesia kepada pemerintah dan pengusaha di lokasi mereka bertugas.