Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Membedah Anatomi Bunuh Diri: Motivasi dan Cara Pencegahan
Syahdan di pagi yang kudus, minggu 13 Mei 2018 terjadi peledakan di Surabaya di gerbang gereja Santa Maria Tak Bercela.
Editor: Malvyandie Haryadi
Penulis: Sawedi Muhammad (Dosen Sosiologi Fisip Unhas)
TRIBUNNERS - Syahdan di pagi yang kudus, minggu 13 Mei 2018 terjadi peledakan di Surabaya di gerbang gereja Santa Maria Tak Bercela.
Publik pun panik mengetahui ledakan itu adalah aksi bunuh diri yang dilakukan oleh satu keluarga.
Baca: Air PDAM Mati Total, Warga Depok Mengaku Ada yang Sampai Tidak Mandi Pagi
Berbagai spekulasi bermunculan. Pelakunya diduga jaringan ISIS, Jamaah Anshar Daulah (JAD), Islam garis keras yang menghalalkan kekerasan dalam definisi mereka sebagai jihad melawan thogut.
Banyak kemudian yang bertanya, mengapa seseorang begitu gampang melakukan bunuh diri? Apa motivasinya dan dalam kondisi seperti apa seseorang dapat melakukan tindakan bunuh diri? Mengapa agama dijadikan alasan pembenaran dalam melakukan bunuh diri?
Frekuensi Bunuh Diri
Menurut WHO (2014), bunuh diri menjadi salah satu penyumbang terbesar kematian ummat manusia. Lebih dari 800.000 orang mati sia-sia setiap tahunnya akibat bunuh diri, dan angka ini terus mengalami peningkatan.
Tahun 2017, WHO kembali menegaskan bahwa di setiap 40 detik terdapat seseorang bunuh diri di suatu tempat di dunia, dimana laki-laki prevalensinya 3 kali lipat dari perempuan.
Meski demikian, bunuh diri masih menjadi salah satu penyebab kematian yang dianggap remeh dan bahkan cenderung diabaikan. Bahkan di beberapa komunitas bunuh diri didiamkan karena dianggap memalukan dan secara kultural tabuh untuk dibicarakan.
Perspektif Sosiologis
Secara akademis tidak banyak teori yang membahas tentang bunuh diri, meski secara sosial dan politik bunuh diri telah menjadi pandemik yang sangat mengancam keteraturan sosial, bahkan dapat menggoyahkan peradaban manusia.
Salah satu karya klasik tentang bunuh diri (suicide) ditulis oleh sosiolog Emile Durkheim ).
Dalam "Suicide" Durkheim menegaskan dua dimensi sosial yang berpengaruh terhadap individu yaitu integrasi sosial (social integration) dan regulasi sosial (sosial regulation).
Kedua dimensi sosial tersebut berpengaruh langsung terhadap prilaku individu yang kemudian menentukan tindakan sosial yang dilakukan; termasuk diantarnya adalah bunuh diri. Durkheim kemudian membagi empat tipe bunuh diri yaitu (a) bunuh diri egois (b) bunuh diri altruis (c) bunuh diri fatalistik dan (d) bunuh diri anomik.
Bunuh diri egoistik dan altruistik berkaitan langsung dengan ritme integrasi sosial individu dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Sementara bunuh diri fatalistik dan anomik berkaitan langsung dengan regulasi, norma atau batasan sosial individu dengan masyarakat dan lingkungan sosialnya.
Teori Durkheim ini meski memiliki keterbatasan dalam menjelaskan motif dan dorongan psikologis (within) tindakan bunuh diri, "suicide" telah digunakan di seluruh dunia dalam memahami dan menjelaskan mengapa prilaku ini terus terjadi.
Freud: Mourning dan Melancholia
Seakan melengkapi teori Durkheim yang lebih dulu eksis, psikolog Sigmund Freud merumuskan "model psikologis" dalam menjelaskan fenomena bunuh diri.
Dalam "Mourning and Melancholia, 1917", Freud menegaskan tentang respon manusia dalam menghadapi depresi atau kehilangan terbesar dalam hidupnya.
Mourning (ratapan, berkabung) disebabkan oleh kehilangan orang terkasih atau sesuatu yang sangat berharga. Seseorang kehilangan semangat dan gairah dan akhirnya jatuh berkubang dalam depresi.
Meski demikian, ratapan dilalui dengan respon kesadaran dimana libido berhasil melompat dari perasaan kehilangan. Pelan tapi pasti, perasaan depresi kembali menemukan jalan ke arah pemulihan.
Sebaliknya, melankolia adalah respon yang menggerogoti rasa percaya diri, merasa tak berguna (inferior) dan akhirnya terjerembab kedalam jebakan patologi sosial.
Libido melompat dari ego dan mengidentikkan dirinya dengan kehilangan yang dideritanya. Inilah yang mendorong seseorang melakukan bunuh diri.
Meski secara sosiologis dan psikologis telah tersedia teori tentang bunuh diri, fenomena ini amasih tetap menjadi enigma. Terlalu banyak variabel yang berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk melakukan bunuh diri.
Tingkat Bunuh Diri
World Popoulation (2018) merilis peringkat negara berdasarkan tingkat bunuh diri penduduknya. Srilanka, negara kecil di Asia Selatan menempati peringkat pertama.
Rata-rata 35,3 dari 100.000 penduduknya melakukan bunuh diri. Lithuania, negara kecil di Eropa Timur menempati urutan kedua.
Rata-rata 32,7 dari 100.000 penduduknya melakukan bunuh diri. Guyana, negara yang terletak di Timur Laut Amerika Selatan menempati peringkat ketiga, negara dengan bunuh diri terbesar.
Rata-rata 29 dari 100.000 penduduknya, melakukan bunuh diri di tahun 2017. Mayoritas pelakunya tinggal di daerah pedesaan.
Mereka bunuh diri akibat depresi dari kemiskinan, kecanduan alkohol dan berbagai macam pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.
Secara mengejutkan, Korea Selatan menempati urutan keempat. Negeri ginseng ini adalah salah satu negara dengan kemajuan teknologi tercanggih dan sistem pendidikan dan pelayanan terbaik di dunia.
Rata-rata 28,3 dari 100.000 penduduknya melakukan bunuh diri tahun 2017.
Tanpa terduga, negara-negara yang beberapa tahun belakangan berjuang melawan teror, agresi militer serta perang saudara ternyata memiliki tingkat bunuh diri yang relatif rendah.
Afganistan, negara tempat bersemainya kelompok militan yang paling berbahaya hanya 5,5 dari 100.000 penduduk yang melakukan bunuh diri.
Irak yang sampai hari ini masih berkutat dengan perang antar faksi militer hanya 3 dari 100.000 penduduknya melakukan bunuh diri. Syria yang sampai saat ini menjadi palagan perang proxy negara adidaya hanya 2,7 dari 100.000 penduduknya melakukan bunuh diri (rangking 164).
Negara-negara Arab lainnya seperti UEA, Kuwait, Arab Saudi, Qatar termasuk Indonesia bahkan tidak termasuk negara yang memiliki tingkat bunuh diri yang mengkhawatirkan.
Indonesia masuk rangking 165 dimana terdapat 2,9 orang bunuh diri dari 100.000 penduduknya.
Bom Bunuh Diri
Berdasarkan data tersebut di atas, memahami bunuh diri hanya dalam satu perspektif tidaklah mencukupi. Terlalu banyak variabel yang berpengaruh mengapa seseorang atau sekelompok orang melakukan tindakan bunuh diri.
Memahami bom bunuh diri dari perspektif Durkheim, maka ia masuk dalam tipe bunuh diri altruis. Individu atau sekelompok orang melakukannya karena kuatnya integrasi dengan komunitas atau kepercayaan yang dianutnya.
Ia merasa depresi ketika kelompoknya, sistem nilai, kepercayaan atau keyakinannya mengalami guncangan.
Akibat langsungnya menimbulkan depresi yang dalam tahapan berikutnya jatuh kedalam perangkap apa yang disebut Freud sebagai melankolia.
Banyak faktor yang menyebabkan seseorang begitu tergantung dan terintegrasi dengan keyakinanya. Bisa melalui indoktrinasi, loyalitas berlebihan atau kecintaan tanpa batas.
Berdasarkan uraian di atas, sangat jelas bahwa bunuh diri tidak identik dengan satu faktor; agama, negara, ideologi politik dan etnisitas.
Bunuh diri juga tidak melulu akibat dari pengangguran, kekejaman rezim atau perang saudara. Pun, bunuh diri tidak relevan dengan agama tertentu.
Ia sering terjadi di negara miskin dengan tingkat pengangguran tinggi (Bangladesh), tetapi juga terjadi di negara maju dengan angka pengangguran relatif rendah (Korea Selatan).
Karenanya, mengidentikkan bunuh diri dengan agama atau keyakinan tertentu, bukan hanya keliru tetapi juga ambisius dan menyesatkan.
Mencegah Bunuh Diri
Karena tidak terjadi oleh faktor tunggal, maka mencegah bunuh diri pun harus dengan berbagai cara.
Menciptakan pemerataan sosial, sistem hukum yang berkeadilan, sistem ekonomi yang inklusif serta sistem pemerintahan yang kuat dengan kepemimpinan yang tegas akan berpengaruh langsung terhadap frekuensi bunuh diri.
Yang tak kalah pentingnya adalah peran vital dari institusi keluarga yang menjadi fondasi utama sekaligus pusat sosialisasi sejak dini.
Segalanya bermula dari keluarga. Maka tepat sekali pepatah yang mengatakan bahwa keluarga adalah tiang negara. Keluarga yang sehat dan kuat akan memperkuat dan memperkokoh tiang negara. Keluarga yang rapuh, lemah dan agresif pelan tapi pasti akan menggerogoti negara. Bukan tidak mungkin akan membawa negara ke jurang kehancuran.
(Menara Thamrin, Jakarta, 16 Mei 2018)