Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mahkamah Agung Lalai Memberikan Pertimbangan Grasi Zulfiqar Ali Kepada Presiden
Zulfiqar Ali adalah pria berkebangsaan Pakistan yang lahir di Lahore-Pakistan pada 1 Januari 1964 dan berprofesi sebagai pedagang tekstil (garmen) di
Ditulis oleh: Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - The Indonesian Human Rights Monitor, turut berduka cita sedalam-dalamnya atas meninggalnya Zulfiqar Ali, warga negara Pakistan pada hari ini Kamis, 31 Mei 2018, pukul 15.20 WIB di RS Medistra Jakarta Selatan.
Zulfiqar Ali meninggal dunia setelah berjuang melawan kanker hati stadium IV sejak satu tahun belakangan ini. Zulfiqar Ali adalah pria berkebangsaan Pakistan yang lahir di Lahore-Pakistan pada 1 Januari 1964 dan berprofesi sebagai pedagang tekstil (garmen) di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Zulfiqar Ali divonis hukuman mati pada 14 Juni 2005 (18 tahun lalu) atas tuduhan kepemilikan narkotika (heroin) seberat 300 gram.
Baca: Jenazah Rosalia Diberangkatkan ke Tanjung Morawa untuk Dimakamkan
Dalam perjalanan kasusnya banyak terdapat kejanggalan selama proses hukum dan kuat dugaan bahwa Zulfiqar Ali sebenarnya tidak bersalah, seperti tidak diberikannya akses terhadap kuasa hukum selama proses penyidikan walaupun ancaman hukuman yang dituduhkan kepadanya lebih dari 5 tahun (hukuman mati), tidak diberikan akses terhadap kedutaan Pakistan, mengalami berbagai kekerasan dan penyiksaan dalam proses hukum, dan saksi kunci dalam kasus ini yakni Gurdiph Singh mencabut keterangan di persidangan bahwa Zulfiqar Ali sebenarnya bukan pemilik 300 gram heroin tersebut.
Baca: PERDIPPI: NPT Wajib Pelumas Lindungi Konsumen dan Industri
Sebelumnya Presiden Joko Widodo telah menjanjikan akan memberikan grasi (pengampunan) kepada Zulfiqar Ali sepulang dari kunjungannya ke Pakistan pada bulan Januari lalu atas alasan kemanusiaan yakni akibat kanker hati stadium IV yang diderita oleh Zulfiqar Ali.
Namun hingga ajal menjemputnya grasi dari presiden tidak kunjung terbit akibat dari belum adanya pertimbangan dari Mahkamah Agung kepada presiden. Pertimbangan Mahkamah Agung tersebut merupakan syarat dikeluarkannya grasi oleh Presiden.
Imparsial selaku kuasa hukum Zulfiqar Ali, sebelumnya telah mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Joko Widodo pada 5 Maret 2018 melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Selanjutnnya pada tanggal 8 Maret 2018 Imparsial juga telah menyerahkan salinan perrmohonan grasi tersebut kepada Pengadilan Negeri Tangerang sebagai pengadilan tingkat pertama yang menghukum Zulfiqar Ali. Berdasarkan informasi dari Pengadilan Negeri Tangerang, salinan berkas tersebut juga telah diserahkan dan diterima oleh Mahkamah Agung pada tanggal 4 April 2018.
Baca: Marah Tak Dipinjami Motor, Pemuda Ini Tusuk Ayah dan Kakeknya Gunakan Alat Pahat
Menurut Pasal 10 Undang-undang No. 5 tahun 2010 tentang perubahan atas Undang-undang No 22 tahun 2002 tentang Grasi, yang berbunyi sebagai berikut, “Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden."
Namun berdasarkan konfirmasi kami ke sekretariat negara hingga kini belum ada pertimbangan dari Mahkamah Agung atas permohonan tersebut kepadaa Presiden. Maka dengan demikian Mahkamah Agung telah melanggar batas waktu memberikan pertimbangan kepada presiden terkait permohonan grasi yang diajukan oleh Zulfiqar Ali.
Imparsial sangat menyayangkan sikap Mahkamah Agung yang lalai dalam menindaklanjuti dan memberikan pertimbangan terhadap permohonan grasi Zulfiqar Ali.
Fenomena ketidak profesionalan di Mahkamah Agung tidak terjadi kalai ini saja. Masih segar dalam ingatan kita tentang kasus terselipnya dokumen permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Zainal Abidin selama 10 tahun di Mahkamah Agung sebelum Zainal Abidin dieksekusi mati pada tahun 2015 lalu. Atas dasar hal tersebut diatas Imparsial menilai Mahkamaha Agung telah lalai dalam mereformasi dan memperbaiki birokrasinya dan menuntut agar dilakukannya reformasi birokrasi secara total agar kejadian serupa tidak terulang dikemudian hari.