Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Waspadai RKUHP yang Melemahkan Upaya Pemberantasan Korupsi!
Pada 30 Mei 2018, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo, memberikan dukungannya untuk menyelesaikan dan mengesahkan RKUHP Agustus 2018.
Editor: Dewi Agustina
ICW mencatat setidaknya tiga ancaman serius bagi upaya pemberantasan korupsi jika mencermati ketentuan delik korupsi yang diatur dalam RUU HP (Versi 2 Februari 2018).
Pertama, memangkas kewenangan penindakan dan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Meski Pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa jika RKUHP disahkan tidak akan mengganggu kerja KPK, namun kenyataannya justru dapat sebaliknya.
Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam UU KPK tidak lagi berlaku jika RKUHP disahkan.
Artinya KPK tidak lagi berwenang menangani kasus korupsi yang diatur dalam KUHP.
Pada akhirnya KPK hanya akan menjadi Komisi Pencegahan Korupsi karena tidak dapat melakukan penindakan dan penuntutan.
Baca: 4 Tahun Menjalin Cinta Terlarang, Rosalia Dibunuh Pendeta Henderson karena Sudah Punya Pacar
Kewenangan KPK tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) yang secara spesifik menyebutkan bahwa KPK berwenang menindak tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor.
Jika delik korupsi dimasukkan dalam KUHP, maka kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam kasus korupsi nantinya akan beralih kepada Kejaksaan dan Kepolisian karena kedua institusi ini dapat menangani kasus korupsi yang diatur selain dalam UU Tipikor.
Kedua, selain KPK, Pengadilan Tipikor juga berpotensi mati suri jika delik korupsi masuk dalam RKUHP.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor pada intinya menyebutkan bahwa Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor.
Dengan demikian jika tindak pidana korupsi diatur dalam KUHP maka kasusnya tidak dapat diadili oleh Pengadilan Tipikor dan hanya dapat diadili di Pengadilan Umum.
Sebelum Pengadilan Tipikor dibentuk, Pengadilan Umum dikenal sebagai institusi yang banyak membebaskan koruptor.
Ketiga, sejumlah ketentuan delik korupsi dalam RUU HP justru menguntungkan koruptor.
Kondisi ini berbeda dengan UU Tipikor yang selama ini dinilai efektif menjerakan korupsi.