Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ketika Ulama Bersiap Jadi Umara
Di pihak lain, Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi diunggulkan sebagai salah satu kandidat cawapres bagi Jokowi.
Editor: Hasanudin Aco
Ideal? Apakah memang ada yang tidak ideal? Ada! Luthfi Hasan Ishaaq, saat itu Presiden PKS dan akrab dengan sapaan ustaz, ternyata gagal ketika bertransformasi dari ulama menjadi umara. Saat menjadi anggota DPR RI, ia terlibat dugaan korupsi pengaturan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian, sehingga kini masih mendekam di LP Sukamiskin, Bandung.
Lalu, bagaimana elektabilitas ulama dalam pilpres dan pemilu? Ternyata popularitas ulama tak berbanding lurus dengan elektabilitasnya sebagai calon umara. Keberterimaan masyarakat terhadap ulama tidak paralel dengan keberterimaan masyarakat terhadap ulama yang hendak bertransformasi menjadi umara.
Sebut saja misalnya saat KH Hasyim Muzadi menjadi cawapres bagi capres Megawati Soekarnoputri pada Pilpres 2014 yang dikalahkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Padahal saat itu Kiai Hasyim adalah Ketua Umum PBNU.
Mungkin karena itulah UAS yang kini sedang berada di puncak ketenaran sebagai ustaz dan ulama, menolak menjadi cawapres Prabowo, karena tidak yakin popularitasnya sebagai ustaz dan ulama akan berbanding lurus dengan elektabilitasnya sebagai calon umara. Ia mengaku hanya ingin menjadi ulama, tak mau menjadi umara, hingga ajal tiba.
Bahwa Habibie, Gus Dur dan Hamzah Haz terpilih menjadi Presiden dan Wapres, karena saat itu yang memilih mereka adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, bukan pemilihan langsung oleh rakyat.
Bila kemudian Salim Segaf bersedia menjadi cawapres, mungkin itu lebih disebabkan oleh basisnya sebagai politisi. Sebagaimana galibnya politisi, ia akan terus mencari peluang untuk berkuasa. Celah sekecil lubang semut pun akan ia manfaatkan, karena tujuan berpolitik adalah meraih kekuasaan.
Di ranah legislatif pun demikian. Rhoma Irama, Raja Dangdut yang juga dikenal sebagai ulama, bersama partainya tak lolos ke Senayan pada Pemilu 2014.
Mengapa popularitas ulama tidak selalu paralel dengan elektabilitasnya sebagai calon umara? Mungkin karena ulama dan umara punya maqam (ranah/domain) sendiri-sendiri, sehingga publik justru menghendaki mereka tetap berada di maqam masing-masing. Kalau ulama menjadi umara, lalu siapa yang akan menasihati umara?
Karyudi Sutajah Putra: Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.