Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Siasat Rahwana di Pilpres 2019
Tahukah kita bila di balik gerakan #2019GantiPresiden ada hidden agenda atau maksud tersembunyi? Apakah hidden agenda itu kampanye terselubung?
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Ketika Marica, raksasa adik Rahwana menyamar menjadi kijang kencana dan melintas di depan pondokan Sita dalam pengasingannya di hutan Dandaka, sehingga Sita terpesona lalu merajuk kepada Rama untuk menangkapnya, bukankah itu perangkap?
Ketika kijang kencana jelmaan Marica mengerang kesakitan terkena anak panah Rama dengan erangan kencang menyerupai suara Rama, sehingga Sita pun cemas lalu memaksa Laksmana yang tengah menjaga dirinya untuk menyusul Rama, bukankah itu perangkap?
Ketika Rahwama menyamar sebagai brahmana tua yang kehausan dan meminta air minum kepada Sita, sehingga dewi titisan Wedawati, bukan Widyaheni seperti disebut sementara orang, keluar dari lingkaran pelindung yang dibuat Laksamana, dan akhirnya diculik Rahwana, bukankah itu perangkap?
Demikianlah, menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, banyak politisi yang menggunakan siasat ala Rahwana untuk mengelabuhi publik.
Rahwana yang kelak menjadi Raja Alengka, disebut dalam epos Ramayana, lahir dengan kepribadian setengah brahmana setengah raksasa (iblis), dengan kesaktian tak tertandingi, dan memiliki 10 wajah atau kepala sehingga disebut juga “Dasamuka” (bermuka sepuluh).
Politikus pun demikian, bahkan mungkin bukan hanya politikus, melainkan hampir semua manusia, kadang menampilkan wajah malaikat yang baik hati, kadang mempersonifikasikan iblis yang jahat.
Rahwana juga memiliki 20 tangan yang dapat ditafsirkan memiliki kemauan dan ambisi yang tak terbatas, seperti pada umumnya politisi, bahkan mungkin hampir semua manusia.
Apakah Neno Warisman, Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaet dan Mardani Ali Sera tengah bermetamorfosis menjadi “kijang kencana” yang memikat hati rakyat melalui deklarasi #2019GantiPresiden? Kita tidak tahu pasti.
Yang jelas, di samping yang mendukung, deklarasi itu juga mendapat penolakan dari elemen masyarakat di sejumlah daerah seperti Serang, Surabaya, Pontianak, Pangkalpinang, dan Pekanbaru?
Di Surabaya, Jawa Timur, Ahmad Dhani bahkan sempat diadang massa kontra #2019GantiPresiden, sehingga pentolan grup Dewa 19 itu tidak bisa keluar dari hotel tempatnya menginap, sebelum akhirnya kembali ke Jakarta.
Di Pekanbaru, Riau, Neno Warisman juga diadang massa kontra #2019GantiPresiden di Bandara Sultan Syarif Kasim II, sehingga aparat keamanan terpaksa memulangkan penyanyi era 1980-an ini ke Jakarta.
Berlindung di balik demokrasi dan kebebasan berpendapat, pihak oposisi atau elite-elite Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN), mengklaim deklarasi #2019GantiPresiden adalah gerakan yang sah dan konstitusional, meski gerakan itu tak terkait dengan partai mereka.
Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Kebebasan berpendapat kemudian diatur implementasinya dalam UU No 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum.
Sebaliknya, massa anti-ganti presiden atau pro-petahana Presiden Joko Widodo dua periode pun berlindung di balik demokrasi dan kebebasan berpendapat.