Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Patahnya Jurus Ampuh

Kajian ini sebenarnya mengulang ungkapan tiga tahun lalu dan sekitar enam bulan lalu di tempat yang sama.

Editor: Rachmat Hidayat
zoom-in Patahnya Jurus Ampuh
Tribunnews/Dany Permana
Pengamat politik-ekonomi, Ichsanuddin Noorsy saat memaparkan hasil surveinya dalam acara diskusi mengenai ekonomi dan politik beberapa waktu lalu 

Oleh ekonom Ichsanuddin Noorsy
 TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Dalam diskusi tentang RAPBN 2019 di Media Centre DPR-RI di hadapan puluhan wartawan berbagai media elektronik dan cetak, pada 25 September 2018 saya menyampaikan nilai tukar rupiah akan tembus di atas Rp15.000 per USD1. Kajian ini sebenarnya mengulang ungkapan tiga tahun lalu dan sekitar enam bulan lalu di tempat yang sama.

Jelas bukan merupakan kebahagiaan saat prediksi negatif menjadi kenyataan. Prediksi yang bertujuan agar kita waspada dan segera mengambil sikap antisipatif itu disebabkan fundamental makro kita memang rapuh. Maka ambang batas psikologis dilampui karena saat tulisan ini dibuat, posisi rupiah terus melemah. Padahal the Fed akan kembali menaikkan suku bunganya mendekati akhir tahun 2018.

Ambang batas psikologi adalah petunjuk batas kekuatan atau kelemahan yang dapat diterima oleh kondisi psikologi. Dalam konstruksi ambang batas psikologi tentang rupiah melemah, maka Rp15.000 adalah batas kelemahan yang optimal. Jika rupiah terus melemah, maka kondisi psikologis masyarakat sulit menerima kejatuhan itu.

Artinya, tingkat kepercayaan masyarakat memburuk terhadap rupiah yang menjadi salah satu ukuran kekayaan dan kemiskinannya dan alat tukarnya. Efek memburuknya kepercayaan masyarakat ini memberi gambaran bahwa ada yang salah dengan sistem ekonomi. Maka pemberitaan media massa mengambil tajuk, rupiah melemah mendekati nilai tukar krisis 1998.

Tajuk ini memberi makna bahwa krisis kepercayaan sudah makin merebak. Kendati Pemerintah mengumumkan pengangguran menurun, kemiskinan menurun, gini rasio membaik, pertumbuhan ekonomi 5,23%, dan situasi sekarang lebih disebabkan faktor eksternal (saya menyebutnya 9 tantangan dalam diskusi 25 September 2018 di media centre), tapi pemerintah juga menghadapi defisit transaksi berjalan (3% terhadap PDB), defisit anggaran.

Defisit keseimbangan primer (untuk bayar bunga utang, pemerintah harus membuat utang baru), serta defisit neraca pembayaran USD4,3 miliar pada kuarta II 2018.

Cadangan devisa pun tergerus dari USD 130 miliar di awal tahun ini menjadi USD117,9 miliar, setara dengan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang. Dua hari lalu, lelang SBN dari Rp50,11 hanya diserap pasar Rp20T setelah BI menaikan suku bunganya menjadi 5,75%.

Berita Rekomendasi

Angka-angka itu membuktikan krisis kepercayaan itu terus merayap masuk ke dalam persepsi publik bahwa kebijakan pemerintah dan program-programnya ternyata bukan jurus ampuh memperkuat fundamental ekonomi. Patahnya jurus neolib ini seakan memberi pesan, negara tidak mampu melindungi ketahanan ekonomi bangsa.

Masyarakat mengatasi sendiri bagaimana menghadapi serangan nilai tukar terhadap tingkat kesejahteraannya. Bayangkan, jika merujuk nilai tukar yang diasumsikan Pemerintah pada APBN 2018, maka nilai tukar telah jatuh antara 11,6% - 12,6%. Jadi walau terjadi pertumbuhan 5,23%, sesungguhnya daya beli dari mata uang rupiah justru menciut. Ini memperburuk tingkat kepercayaan masyarakat, walau inflasi tetap terkendali.

Dalam kondisi yang demikian, pada diskusi di tanggal 25 September itu saya mengatakan bahwa Produks Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebenarnya menciut dengan merujuk jatuhnya nilai tukar. Dalam bahasa yang lain, telah terjadi transfer surplus ekonomi nasional ke luar melalui jalur keuangan.

Dari aspek inflasi, data Sosial Ekonomi September 2018 BPS menunjukkan indeks harga bahan makanan dan makanan terus melonjak. Data ini sesuai dengan kenyataan lapangan bahwa harga pangan terus meningkat. Kenaikan tarif listrik juga ikut mendorong, namun tidak demikian halnya dengan bahan bakar.

Padahal harga minyak mentah dunia dalam tahun 2018 sudah meningkat lebih dari 20% menjadi USD75 per barel untuk WTI.

Pada 2019 diperkirakan mencapai USD100 perbarel di tengah melambat pertumbuhan ekonomi dunia. Lalu, kenapa inflasi tetap terkendali, yakni sekitar 3,18% ?

Paling tidak ada beberapa penyebab. Misalnya, biaya kesehatan ditanggulangi BPJS Kesehatan walau BPJS defisit, biaya pendidikan dicakup APBN dan dipasok oleh Kartu Indonesia Pintar.

Halaman
12
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas