Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Bukalah Kotak Pandoramu, Ratna?

Tercampakkan! Demikianlah nasib Ratna Sarumpaet (70) setelah mengaku berbohong tentang penganiayaan yang dialaminya.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Bukalah Kotak Pandoramu, Ratna?
Grafis Tribunnews.com/Ananda Bayu S
Ratna Sarumpaet Resmi Ditahan Jumat 5 Oktober 2018 

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

TRIBUNNEWS.COM - Tercampakkan! Demikianlah nasib Ratna Sarumpaet (70) setelah mengaku berbohong tentang penganiayaan yang dialaminya.

Jangankan diberi bantuan hukum, sekadar dijenguk di tahanan oleh elite politik pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pun tidak. Itulah politik. Tak ada kawan atau lawan abadi, yang abadi kepentingan.

Setelah menyandang status tersangka, Ratna mungkin dianggap sudah tidak penting lagi. Makanya selain didepak dari Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) itu coba “dikirim” ke Chile atas “sponsor” Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, tapi akhirnya “mendarat” di Polda Metro Jaya, Kamis (4/10/2018) malam.

Ratna bakal dijerat dengan Pasal 14 dan 15 Undang-Undang (UU) No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan Pasal 28 juncto Pasal 45 UU No 11 Tahun 2008 yang diperbarui dengan UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara.

Tidak itu saja. Sejumlah pihak, termasuk Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, mengusulkan agar 3 Oktober, tanggal di mana Ratna Sarumpaet mengaku berbohong, ditetapkan sebagai Hari Anti-hoaks Nasional, bahkan ada perkumpulan yang menganugerahi Ratna gelar “Ratu Hoax”.

Mungkinkah Ratna menjadi justice collaborator agar tidak menggigil sendirian di sel tahanan? Jika mau menjadi justice collaborator, Ratna harus membuka kotak Pandora-nya. Ratna, “bernyanyi”-lah, dan buka kotak Pandoramu!

Berita Rekomendasi

Dalam mitologi Yunani, dikisahkan ada seorang perempuan ayu bernama Pandora. Pada hari pernikahannya dengan Epimetheus, ia mendapat hadiah dari para dewa berupa sebuah kotak yang indah, namun Pandora dilarang membukanya.

Ketika dibuka karena rasa penasaran, ternyata keluarlah segala macam keburukan mulai dari masa tua, rasa sakit, kegilaan, wabah penyakit, keserakahan, pencurian, dusta, kecemburuan, kelaparan, hingga berbagai malapetaka lainnya.

Ratna pun kini memiliki kotak Pandora yang mungkin berisi hal-hal buruk dia dan jaringannya.

Apakah dia akan membukanya sendiri dengan suka rela, sebagai syarat menjadi justice collaborator, ataukah polisi yang terpaksa membukanya, dengan menelisik jejak digital yang tersimpan di hand phone Ratna yang telah disita?

Pemanggilan Amien Rais oleh polisi untuk diperiksa, Jumat (5/10/1018), namun tidak hadir, mungkin sebagian kecil dari dibukanya kotak Pandora itu oleh polisi.

Bisa jadi, mereka yang kini dipanggil sebagai saksi akan berubah statusnya menjadi tersangka. Polisi berpatokan pada Pasal 55 KUHP yang menyatakan, orang yang turut melakukan tindak pidana dapat dijerat hukum.

“Firehose of The Falsehoods”

Mungkinkah Ratna menjadi justice collaborator yang dapat meringankan hukumannya? Pasal 10 ayat (2) UU No 13 Tahun 2006 yang diperbarui dengan UU No 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengatur hubungan antara kesaksian justice collaborator dan hukuman yang diberikan. Pasal tersebut berbunyi, “Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat meringankan pidana yang akan dijatuhkan terhadapnya.”

Tapi, UU No 13/2006 juncto UU No 31/2014 tidak memberikan panduan untuk menentukan kapan seseorang dapat disebut sebagai pelaku yang bekerja sama; pihak yang menentukan bahwa seorang pelaku telah bekerja sama; ukuran kerja sama seseorang yang mengaku sebagai pelaku bekerja sama atau ukuran penghargaan yang akan diberikan.

Maka pada 2011, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran (SE) No 4/2011 tentang Justice Collaborator dan Whistleblower.

Dalam SEMA No 4/2011 tersebut justice collaborator disebutkan sebagai salah satu pelaku tindak pidana tertentu, bukan pelaku utama kejahatan, yang mengakui kejahatan yang dilakukannya, serta memberikan keterangannya sebagai saksi dalam proses peradilan.

Tindak pidana tertentu yang dimaksud SEMA adalah tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, dan tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir, sehingga tindak pidana tersebut telah menimbulkan masalah dan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat.

Dengan demikian, sulit bagi Ratna untuk menjadi justice collaborator, karena kebohongan yang dilakukannya bukan tindak pidana tertentu, kecuali ia dianggap telah menimbulkan masalah dan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat. Lalu, apa untungnya bila Ratna membuka kotak Pandora?

Ratna mau membuka atau tidak, handphone Ratna sudah terlanjur ada di tangan polisi, dan di sana terekam semua jejak digitalnya. Jadi, sia-sia saja bila Ratna bertahan tidak membuka kotak Pandora-nya.

Lalu, apa untungnya bila Ratna tidak membuka kotak Pandora, dengan maksud melindungi pihak-pihak tertentu yang diduga ikut terlibat kejahatannya? Tidak ada untungnya juga, toh ia sudah tercampakkan.

Meski secara normatif sulit menjadi justice collaborator, namun sikap kooperatif Ratna, dengan mau membuka kotak Pandora, bisa dipertimbangkan polisi untuk meringankan tuntutannya, mungkin tidak sampai 10 tahun.

Di pihak lain, langkah Ratna membuka kotak Pandora juga bisa menjawab isu-isu liar soal teori konspirasi dan “Firehose of the Falsehood”, sebuah teknik propaganda yang lebih dikenal sebagai propaganda ala Rusia.

Budiman Sudjatmiko, pendukung petahana Presiden Joko Widodo, menyatakan, skandal kebohongan Ratna Sarumpaet bisa menjadi strategi atau teknik propaganda politik tim kampanye Prabowo-Sandi. Teknik kampanye tersebut bernama “Firehose of The Falsehoods”.

Teknik ini menggunakan kebohongan untuk membangun ketakutan publik, sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan posisi politik.

Dalam teknik propaganda ini, konten-konten kampanye tidak lagi harus objektif. Syarat kampanye dengan cara ini adalah meyebarkan sebuah kabar secara masif, cepat, dan terus berulang.

Tujuan utamanya adalah membangun ketidakpercayaan terhadap informasi, dan kemudian menciptakan keriuhan sehingga timbul pemikiran bahwa tidak ada kebenaran di republik ini.

Semua berbohong. Jokowi berbohong, Prabowo berbohong. Akhirnya semua orang tidak percaya kebenaran demokrasi, sehingga yang muncul dalam peristiwa demokrasi adalah beradu kuat, bukan beradu benar atau salah.

Budiman menjelaskan, ada dua skenario yang bisa diciptakan dalam kondisi ini.

Pertama, jika kebohongan itu tidak ketahuan, semua orang akan marah kepada pemerintah karena Ratna Sarumpaet, seorang ibu, dipukuli oleh sekelompok anak muda, dan cerita ini menjadi heroik karena Prabowo membela Ratna.

Kedua, jika ketahuan maka Ratna mengakui kesalahannya dan kembali memanfaatkan emosi publik. Pada akhirnya skenario kedua ini juga tetap akan membawa keuntungan bagi kubu Prabowo. Sebab, kalau orang tidak percaya pada seseorang, maka dia juga tidak akan percaya kepada lawan orang itu.

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Arsul Sani, juga berpendapat, teknik propaganda “Firehose of The Falsehoods” ini berciri khas melakukan kebohongan-kebohongan nyata (obvious lies) guna membangun ketakutan publik dengan tujuan mendapatkan keuntungan posisi politik sekaligus menjatuhkan posisi politik lawannya.

Hal ini dilakukan secara terus-menerus atau repetitive action.

Arsul menduga Prabowo-Sandi menggunakan teknik tersebut. Sebab, tim Prabowo-Sandi bukan kali ini saja membuat kebohongan yang menghebohkan.

Sebelumnya, kebohongan dilakukan dalam isu pembakaran mobil Neno Warisman yang disebarnya secara sengaja dan terus-menerus oleh tim Prabowo-Sandi. Padahal kemudian diketahui mobil tersebut terbakar akibat korsleting.

Adapun teori persekongkolan atau teori konspirasi (conspiracy theory) adalah teori-teori yang berusaha menjelaskan bahwa penyebab tertinggi dari satu atau serangkaian peristiwa (pada umumnya peristiwa politik, sosial, atau sejarah) adalah suatu rahasia, dan sering kali memperdaya, direncanakan diam-diam oleh sekelompok rahasia orang-orang atau organisasi yang sangat berkuasa atau berpengaruh.

Bagaimana bila teori konspirasi dan “Firehose of The Falsehoods” dalam kasus Ratna Sarumpaet itu terbukti? Tentunya kubu Prabowo akan terancam secara hukum dan politik.

Tapi apa pun yang akan terjadi, langkahmu membuka kotak Pandora mungkin akan sedikit meringankan beban psikologismu, Ratna!

Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas