Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
IIQ An Nur Yogyakarta Kaji Al-Quran Antara Timur dan Barat
Al-Quran tidak lagi sekadar menjadi bacaan yang bernilai ibadah semata, tetapi ia juga menjadi bagian dari khazanah intelektual
Editor: Husein Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, BANTUL - Dinamika kajian Al-Quran di Indonesia saat ini telah memperlihatkan geliatnya.
Al-Quran tidak lagi sekadar menjadi bacaan yang bernilai ibadah semata, tetapi ia juga menjadi bagian dari khazanah intelektual yang terus disuarakan dalam berbagai ranah intelektual.
Ragam pengkajian al-Quran ini semakin membuktikan bahwa ia adalah kitab suci yang paling banyak mengundang perhatian, paling banyak dibaca dan dikaji, dan paling sering menjadi polemik dalam ruang-ruang diskusi.
Perhatian yang berlimpah itu seakan membenarkan bahwa Al-Quran adalah Kalam Suci Tuhan. Hal ini sebagaimana disampaikan Khairul Imam, moderator diskusi Kuliah Umum yang bertema “Dinamika Kajian Al-Quran (Antara Timur dan Barat)” yang diadakan oleh Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-Quran An Nur di Bantul, Yogyakarta pada Kamis 25 Oktober 2018.
Acara Kuliah Umum ini dibuka oleh Dr. M. Ikhsanuddin, Dekan Fakultas Ushuluddin IIQ An Nur Yogyakarta.
Dalam sambutannya ia mengatakan, “Saat ini kita perlu terus menggali al-Quran dengan berbagai pendekatan. Hal ini untuk menambah wawasan kita bersama sebagai pengkaji al-Quran. Kitab Suci umat Islam ini ibarat samudera ilmu yang tak bertepi, dan setiap sisinya mampu melahirkan bidang dan cabang keilmuan baru yang terus harus digali dan dikaji.”
Kuliah Umum kali ini menghadirkan seorang doktor muda dari UIN Sunan Kalijaga sekaligus pakar dalam kajian Al-Quran, Dr. Phil. Munirul Ikhwan, Lc, MA. Ia dianggap sebagai representasi Timur dan Barat dengan pertimbangan gelar Ph.D. di bidang Studi Islam ia peroleh dari Freie Universität Berlin (2015); MA di bidang Studi Islam dari Leiden University (2010); dan Lc. (License) di bidang Ilmu al-Qur’an dan Tafsir dari Universitas al-Azhar Kairo (2006).
Dalam pemaparannnya, pertama-tama ia mempertanyakan kemunculan studi al-Quran di Barat. Apakah itu baru? Kajian al-Quran di Barat muncul pertama kali dengan kajian filologi.
Filologi adalah studi tentang teks dan bahasa, bagaimana bahasa itu terkait dengan teks tertentu atau teks yang lain.
Ternyata di Bible itu ada ungkapan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan satu bahasa, tetapi mengapa faktanya manusia berbicara dnegan banyak bahasa.
Dari situlah, para orientalis mulai mengumpulkan manuskrip-manuskrip dari berbagai bahasa untuk dipelajari. Di situ pula ia mulai mengetahui bahwa bahasa Arab adalah bahasa utama, terutama Al-Quran yang menggunakan bahasa fushah yang menjadi standar dalam bahasa Arab. Sehingga mereka menjadi al-Quran menjadi salah satu objek penelitian mereka.
Lebih lanjut ia memaparkan, ketika kita mendekati al-Quran, setidaknya ada dua pendekatan. Pendekatan pertama, menyingkap kata/makna asli dari suatu kata berdasarkan konteks sejarah dan auidens pertamanya.
Pendekatan kedua, membaca al-Quran melalui penafsiran para ahli tafsir. Karena dari para ahli tafsir kita akan mengetahui corak ideologi dan sosiologi audiesn yang bisa jadi berbeda dengan corak penafsiran al-Quran pada awal turunnya.
Jika di Timur (studi al-Quran di Universitas Al-Azhar—red.) payung pembacaan al-Quran melalui payung teologi. Maka ada adagium yang berlaku adalah at-tafsir ash-shahih huwa at-tafsir al-muwafiq bil aqidah ash-shahihah.
Bahwa tafsir yang benar adalah yang sejalan dengan akidah Islam. Karena itu, di Al-Azhar dipelajari apa yang kita sebut dengan istilah ad-dakhil fit tafsir, menggali segala unsur yang dianggap melenceng dari penafsiran al-Quran. Dan hal itu tidak diketemukan di Barat. Unsur akidah tidak menjadi payung dari cara kita membaca al-Quran.
Sementara itu, di Barat para orientalis mendekati al-Quran melalui dua payung besar: Filologi dan sejarah.
Untuk melampaui itu mereka setidaknya harus menguasai tiga bahasa umat Islam: Turki, Persia, dan Arab. Mereka bejibaku dengan tiga bahasa tersebut untuk menggali lebih jauh dari bahasa Al-Quran sekaligus audiens penerimanya.
Mungkin saja ini akan berkembang karena masyarakat muslim terbesar ada di Indonesia.
Adapun sejarah, menurut Munir, karena motif mereka mempelajari al-Quran bukan untuk mengetahui hukum-hukumnya, atau memproduksi sesuatu dari al-Quran, atau menguatkan akidah, tetapi mereka mempelajarinya murni untuk rekonstruksi sejarah.
Karena faktanya Al-Quran itu ada awal dan ada akhir. Berawal dari Nabi Muhammad saw. mendeklarasikan menjadi seorang nabi, dan akhirnya ketika beliau wafat.
Demikian pula, karena ada setting tertentu itulah mereka berusaha merekonstruksi sejarah tertentu yang bertujuan tidak hanya mengetahui konteks sosial dan budaya masyarakat Arab pada waktu itu, tetapi juga evolusi gagasan al-Quran yang turun secara berangsur-angsur. Misalnya, ayat-ayat yang pertama tidak menyebut kata “Allah”, tetapi “Rabb.” Atau, munculnya kata “Allah” yang berbeda dengan konsep Allah pada masyarakat jahiliah pada masa itu. Nah, mereka begitu jeli dalam masalah-masalah tersebut.
Ia juga menjelaskan bahwa kajian-kajian al-Quran di Barat sangat mendalam dalam konteks dan rekonstruksi sejarah. Mereka tidak fokus pada hukum, atau mengambil intisari nilai-nailai akhlak dari al-Quran. Dan hal itu kita bisa ambil dari para pengkaji al-Quran seperti Fazlur Rahamn, Nasi Hamid Abu Zayd, atau Quraish Shihab, misalnya, untuk meramu al-Quran baik dari segi nilai-nilai, hukum-hukum, dan aspek kesejarahan dan kebahasaan. Atau, bisa juga dengan cara kita sendiri tanpa mendelegitimasi kebudayaan kita sendiri.
Pada akhir sesi, moderator meminta semcam closing statement untuk memberikan motivasi terkait semangat dalam mengkaji al-Quran, mengingat para mahasiswa IIQ An-Nur selain mengkaji al-Quran dari perspektif keilmuan, mereka juga para penghafal al-Quran.
Bermula dari cerita dari para senior yang senagn berpetualang dan jalan-jalan ke eropa, Munir tertarik untuk melakukan hal yang sama. Jalan ke eropa pada musim panas, pulang membawa sejumlah uang yang cukup untuk hidup setahun. Dan ternyata Pak Quraish Shihab melakukan itu karena diajak oleh adiknya, Dr. Alwi Shihab, berpetualang ke Jerman. Dari situlah, Munir mulai bersemangat mencari beasiswa ke Barat.
“Jalan-jalan ke Eropa, bonusnya ijazah. Biar gak terlalu stres memikirkan mata kuliah yang berat. Karena saya tidak pernah berimajinasi sampai S3. Bayangan saya hanya sampai S2 selesai. Alhamdulillah, ternyata saya bisa melampaui cita-cita saya.” Paparnya.
“Kadang kita perlu berani mencoba. Dan lagi-lagi setiap jenjang ada angin segar yang harus kita respons untuk mewujudkan cita-cita kita. Apakah saya selalu berhasil, tidak juga. Karena dalam hidup ini, bisa saja kita tidak berhasil pada satu hal, tetapi berhasil pada sisi lainnya. Saya pernah melamar ke Australia, gak masuk, ke Belanda gak masuk, tapi meleset-meleset ke Jerman.”
Institut Ilmu Al-Quran An Nur (IIQ An Nur) terletak di Komplek Yayasan Al-Ma’had An Nur, Ngrukem, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Saat ini, jumlah mahasiswa di kampus ini telah mencapai hampir seribu mahasiswa dari berbagai daerah. Sebagian mereka tinggal di asrama pondok, dan ada pula yang tinggal di luar asrama.
Salah satu keunikan dari kampus ini adalah memasukkan program tahfidz al-Quran dalam kurikulum kuliah pada semua fakultas dan jurusan.
Sehingga diharapkan keluaran dari IIQ An Nur tidak hanya menjadi ahli dalam keilmuan akademik, tetapi sekaligus menjadi penghafal al-Quran yang mampu memadukan keilmuan akademik berbasis nilai-nilai al-Quran.