Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Berdagang Isu HAM dalam Pilpres
Selama 20 tahun perjalanan reformasi soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat sejak era Gusdur, Megawati, SBY hingga Jokowi selalu diabaikan
Editor: Malvyandie Haryadi
Syamsuddin Radjab
(Dosen Hukum Tata Negara UIN Alauddin, Makassar; Ketua PBHI 2007-2010)
TRIBUNNERS - Tema Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kontestasi pilpres 2019 ini sejatinya sudah usang namun tetap menarik. Usang dikarenakan sejak rontoknya rezim Soeharto di tangan mahasiswa pada 21 Mei 1998 sudah menjadi pokok bahasan penting dan menjadi bagian dari tuntutan amanat reformasi total.
Selama 20 tahun perjalanan reformasi soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat sejak era Gusdur, Megawati, SBY hingga Jokowi selalu diabaikan dan digadaikan.
Abai berarti tidak memedulikan untuk diselesaikan. Digadaikan karena sekedar menjadi jualan (jaminan) ke rakyat agar dipilih dalam pilpres dan setelahnya tanpa niat untuk menunaikannya tapi menjadi jaminan atau janji abadi setiap pemerintahan.
Dititik inilah daya tarik magis soal HAM sehingga selalu diperbincangkan diruang-ruang publik melalui diskusi kritis dan disetiap pergantian rezim pemerintahan apalgi dalam suasana pilpres seperti saat ini.
Baca: POPULER: Tahun Kelulusan Jokowi di SMAN 6 Surakarta Diperdebatkan, Guru Beberkan Nilai Rapor Jokowi
Baca: Debat Perdana Capres: Natalius Pigai Sebut Jokowi Bakal Tersandera Masalah HAM
Secara norma hukum peraturan perundang-undangan berkembang pesat dengan hadirnya sejumlah peraturan dan norma HAM dimuat dalam konstitusi: UUDN RI 1945.
Pelbagai regulasi dan kebijakan bernuasa HAM dihasilkan seperti UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM termasuk UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang memayungi mekanisme nonjudisial tetapi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada Desember 2006. Sayangnya, semua rezim pemerintahan di era reformasi telah gagal menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tersebut.
Secara teoritis, istilah ”pelanggaran HAM berat” tidak dikenal dalam literatur terkait kasus pembunuhan massal 1965-1966, kasus Talangsari, penembakan misterius, kasus Mei dan lain-lain yang telah diselidiki melalui KPP-HAM Komnas HAM yang saat ini ada 10 kasus belum dituntaskan.
Baca: TERPOPULER - Foto #10YearsChallengenya Dicemooh, Ayu Ting Ting Sewot: Gue Cantik
Pelanggaran HAM berat hanya dikenal dalam term studi HAM internasional dari terjemahan ”gross violation of human rights” bukan hukum pidana internasional sebagaimana dimaksudkan kasus diatas yang dikenal dalam International Criminal Court dengan istilah “extra ordinary crimes” atau “the most serious crimes”yang jenis kejahatannya berupa kejahatan genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan agresi (crime of aggression).
Dari sisi peristilahan saja, saya menangkap kesan sejak awal ada upaya pengaburan, pengabaian, dan ketidakseriusan pemerintah dan DPR dalam perumusan pembentukan undang-undang apalagi mau melaksanakan penegakan hukumnya kepada terduga pelaku pelanggaran HAM berat. Di sini pentingnya melacak politik HAM pemerintah bersama DPR dalam pembentukan perundang-undangan yang terkait dengan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Politik HAM Jokowi
Pasangan Jokowi-JK terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada pemilu 9 Juli 2014 dan dilantik pada 20 Oktober 2014 setelah menyisihkan lawan politiknya pasangan Prabowo-Hatta. Kini dalam pilpres 2019 keduanya kembali bertarung dalam pertandingan ulang (rematch) dengan pasangan yang berbeda: Jokowi-Ma’ruf melawan Prabowo-Sandi.
Suguhan tanding ulang menarik karena menyajikan isu usang yang terus digoreng sebagai dagangan politik yakni soal HAM. Prabowo selalu disematkan sebagai pelaku pelanggar HAM berat dalam kasus penculikan aktivis 1998 tetapi capres petahana Jokowi mendapat cap ”rapor merah” dalam soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM (19/10/2018) karena dinilai tidak serius, lalai dan abai dalam menjalankan tugasnya sebagai Presiden.
Jika kita mundur kebelakang pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014, Presiden Jokowi memberi janji kepada masyarakat khususnya korban pelanggaran HAM berat dan keluarganya akan menyelesaikan secara berkeadilan pelanggaran HAM berat yang dituangkan didalam visi misi Jokowi dan disetorkan ke KPU sebagai dokumen negara.