Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Proyek 65 Bendungan Pemerintah Berdampak Negatif bagi Masyarakat dan Lingkungan
Pembangunan bendungan melawan kecenderungan di sejumlah negara di Amerika, Eropa, dan Asia yang mulai merekayasa ulang, bahkan hancurkan bendungan
Editor: Eko Sutriyanto
Oleh : Rusmin Effendy *)
PROYEK pembangunan 65 Bendungan di sejumlah wilayah di Indonesia bisa berdampak buruk bagi kehidupan sosial-budaya dan ekonomi masyarakat serta kelestarian lingkungan.
Proyek akan menggusur warga dari tempat tinggal mereka, membuat mereka kehilangan mata pencaharian, mencerabut mereka dari lingkungan sosial-budaya, dan berpotensi merusak ekosistem sungai, baik di hulu maupun hilir.
Kebijakan pembangunan 65 bendungan juga melawan kecenderungan di sejumlah negara di Amerika, Eropa, dan Asia yang justru mulai merekayasa ulang dan bahkan menghancurkan bendungan.
Didorong oleh gerakan kampanye kelompok akar rumput, negara-negara tersebut menyadari bendungan sudah tak relevan lagi dengan perkembangan zaman, baik itu karena pemeliharaannya berbiaya mahal, risiko bencana yang bisa dipicunya akibat kegagalan struktur, dan adanya keinginan kuat untuk merehabilitasi lingkungan, terutama sungai-sungai yang kondisinya kritis karena dibendung.
Hasil Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Pemanfaatan Bendungan untuk Irigasi dan Penyediaan Air Baku yang dirilis Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 22 Februari 2018 mengungkap sejumlah permasalahan dalam proyek 65 bendungan.
Permasalahan tersebut antara lain penyelesaian proyek yang meleset dari target, pemeliharaan yang tidak memadai, penolakan masyarakat, dan keterlambatan pembayaran kompensasi atas tanah masyarakat.
BPK merilis 29 bendungan yang pembangunannya direncanakan selesai pada 2019 dalam Rencana Strategis 2015-2019 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, hanya tujuh bendungan yang pembangunannya telah dirampungkan per akhir November 2017. Penelusuran pada Database Pusat Bendungan juga mendapati kenyataan yang sama.
Kelompok masyarakat yang tergabung dalam Barisan Pemeriksa Kondisi Proyek (BPKP) mendesak pemerintah mencari solusi atas persoalan yang terjadi saat ini, termasuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat, terutama mereka yang terdampak oleh proyek.
Baca: Komisi V Tinjau Bendungan Beriwit
Sosialisasi harus melibatkan partisipasi aktif, terbuka, dan sejajar dari masyarakat, bukan sekadar formalitas pemenuhan syarat analisis dampak lingkungan.
Mewakili masyarakat, kami mengkhawatirkan melesetnya target proyek bisa membuat pelaksana proyek bekerja memburu tenggat.
Akibatnya, pekerjaan berpotensi menjadi tak optimal, mengurangi manfaat proyek, memperpendek usia operasi bendungan, dan bahkan berisiko memicu kegagalan struktur pada bangunan.
BPK juga menemukan pemeliharaan bendungan yang telah selesai tidak memadai. Akibatnya, lantai di sejumlah bendungan telah tertutup oleh sedimen. Sejumlah bendungan, menurut BPK, juga belum dilengkapi dengan jaringan irigasi, sehingga pemanfaatan bendungan untuk mengairi persawahan dan menyediakan air baku bagi masyarakat menjadi tak optimal.
BPK pun mencatat keberatan dan penolakan masyarakat atas sejumlah proyek bendungan. Di Karangasem, Bali, masyarakat menolak pembangunan Bendungan Telagawaja karena proyek bisa menghancurkan sawah yang masih produktif, usaha arung jeram, dan sebuah pura tempat ibadah. Lebih ironis, pembangunan Bendungan Telagawaja dinilai oleh Badan Lingkungan Hidup Bali tak layak lingkungan.