Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Berhentilah Saling Klaim Dana Desa!
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengklaim anggaran Dana Desa ada karena petahana Presiden Joko Widodo.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNNEWS.COM - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengklaim anggaran Dana Desa ada karena petahana Presiden Joko Widodo.
Jokowi sendiri dalam debat calon presiden seri kedua, Minggu (17/2/2019), menyampaikan klaimnya mengenai Dana Desa yang digelontorkan pemerintahannya.
Menurut Jokowi, selama empat tahun pemerintahannya Rp 187 triliun digelontorkan untuk Dana Desa.
Sebaliknya, Wakil Ketua Dewan Penasihat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Hidayat Nurwahid, mengingatkan Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagai landasan Dana Desa, diteken Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Wakil Ketua DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mendukung Prabowo-Sandi, Fahri Hamzah, bahkan mengklaim Prabowo lebih berjasa daripada Jokowi terkait Dana Desa.
Di akun Twitter-nya baru-baru ini, Fahri Hamzah menulis, “Pak Prabowo mendukung lahirnya UU Desa melalui Fraksi Gerindra DPR RI, Pak Jokowi tidak terlibat sama sekali.”
Baca: Cerita Hidayat Nur Wahid Tentang Dana Desa: UU-nya Diteken Era SBY, Pernah Ditolak PDIP
Fahri juga menulis, “Pak SBY memulai alokasi Rp 9 triliun dalam APBN 2015 dan didukung Pak Prabowo melalui Fraksi Gerindra. Pak Jokowi belum terpilih. Sejak awal, sebelum Pak Jokowi masuk Jakarta, Pak Prabowo adalah motor lahirnya UU Desa.”
Merujuk data Kementerian Keuangan, alokasi Dana Desa tahun 2018 sebesar Rp 60 triliun, tahun 2017 sebesar Rp 60 triliun, tahun 2016 sebesar Rp 46,98 triliun, dan tahun 2015 sebesar Rp 20,7 triliun.
Dengan demikian, total Dana Desa yang dialokasikan pemerintah sebesar Rp 187,68 triliun selama empat tahun.
Jika tidak dalam suasana kampanye Pemilihan Presiden 2019, kita yakin saling klaim tentang siapa yang paling berjasa terkait Dana Desa ini tak akan terjadi.
SBY, Prabowo, Jokowi atau siapa pun yang paling berjasa tak terlalu penting, yang terpenting adalah apakah penggunaan Dana Desa itu berkontribusi besar untuk pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan.
Di sisi lain, ada fakta ratusan kepala desa menjadi tersangka korupsi Dana Desa. Ini membuktikan Dana Desa rawan penyimpagan dan menjadi lahan subur korupsi baru.
Data Indonesia Corruption Watch (ICW), jumlah kasus korupsi Dana Desa meningkat setiap tahun sejak 2015 hingga 2018.
Sedikitnya tercatat 181 kasus korupsi Dana Desa dengan 184 tersangka korupsi sepanjang empat tahun berjalan program ini. Akibatnya, negara merugi Rp 40,6 miliar.
ICW mencatat, ada empat faktor penyebab terjadinya korupsi Dana Desa. Pertama, kurang dilibatkannya masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan Dana Desa.
Akses masyarakat untuk mendapatkan informasi pengelolaan Dana Desa dan terlibat aktif bahkan dibatasi.
Padahal, dalam Pasal 68 UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, telah diatur hak dan kewajiban masyarakat desa untuk mendapatkan akses dan dilibatkan dalam pembangunan desa.
Kedua, terbatasnya kompetensi kepala desa dan perangkat desa. Keterbatasan ini secara khusus mengarah pada teknis pengelolaan Dana Desa, pengadaan barang dan jasa, serta penyusunan pertanggungjawaban keuangan desa.
Masih rendahnya latar belakang pendidikan dari kepala desa dan perangkat desa sangat berpengaruh pada faktor ini.
Ketiga, tidak optimalnya lembaga desa, terutama lembaga yang secara langsung memainkan peran penting dalam pemberdayaan masyarakat dan demokrasi tingkat desa, seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Keempat, high political cost atau ongkos politik yang tinggi akibat kompetitifnya arena pemilihan kepala desa.
Karena cost yang tinggi ini harus mereka keluarkan dalam kompetisi pemilihan kepala desa, mereka kebanyakan berusaha mengembalikan defisitnya melalui proses korupsi setelah berhasil menjabat. Bahkan ada kepala desa yang berusaha menghimpun Dana Desa ketika menjabat untuk maju dalam pemilihan berikutnya.
Meningkatnya anggaran Dana Desa setiap tahun menjadi alasan banyaknya minat dari berbagai pihak untuk mencalonkan diri menjadi kepala desa, meski tanpa komitmen untuk membangun desa. Ada gula ada semut.
Bila kita telusuri ke belakang, saling klaim paling berjasa dalam Dana Desa sebenarnya tak perlu terjadi.
Siapa pun Presiden yang memimpin negeri ini, Dana Desa akan selalu dialokasikan, karena itu amanat undang-undang, khususnya UU No 6/2014 tentang Desa.
Memang, Dana Desa yang dikucurkan hampir Rp 1 miliar per desa terjadi di pemerintahan Presiden Jokowi sekarang ini.
Namun, cikal bakal Dana Desa telah mulai dikucurkan lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sejak tahun 2002, yang saat itu “dititipkan” di Departemen Pekerjaan Umum, kini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Saat itu penulis menjadi Ketua Komisi IV DPR RI, kini berubah menjadi Komisi V DPR RI.
Dana Desa awalnya untuk desa tertinggal di kabupaten-kabupaten yang berstatus tertinggal.
Penetapan kabupaten tertinggal dan desa tertinggal saat itu dilakukan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, yang saat itu menterinya Saifullah Yusuf. Saat itu alokasi anggaran untuk desa tertinggal dalam APBN adalah Rp 250 juta per desa.
Jadi, berhentilah saling klaim paling berjasa dalam Dana Desa. Yang jauh lebih penting adalah memastikan Dana Desa itu berkontribusi besar untuk pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan, serta melakukan pengawasan ketat sehingga Dana Desa tidak menjadi lahan subur korupsi baru, dan korupsi pun masuk desa.
Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Ketua Komisi IV DPR RI / Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.