Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Akankah Presiden Jokowi Menulis Sejarah Super Semar?
Inilah yang melandasi lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila.
Editor: Hasanudin Aco
Kini, sejarah yang tak kalah kontroversialnya adalah Surat Perintah 11 Maret 1966 atau lebih dikenal dengan sebutan “Super Semar”, yakni surat perintah dari Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto yang saat itu Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Pangkostrad). Kontroversi bukan hanya menyangkut isi dan proses kelahirannya, melainkan juga keberadaannya yang hingga 53 tahun berselang belum pasti di mana rimbanya.
Super Semar inilah yang digunakan Soeharto untuk membangun dan melegitimasi kekuasaannya selama 32 tahun.
Seperti dilansir banyak media, saat ini arsip negara menyimpan tiga versi Super Semar.
Salah satunya berasal dari Sekretariat Negara, yang lain dari Pusat Penerangan TNI Angkatan Darat, dan terakhir hanya berupa salinan tanpa kop surat kenegaraan.
Ketiga surat tersebut dinyatakan palsu oleh para sejarawan, dan hingga kini tidak jelas di mana keberadaan salinan asli Super Semar itu.
Menurut M. Asichin, Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) periode 2010-1013, terdapat tiga versi Super Semar yang ada di ANRI, yakni kedua surat berkop Burung Garuda dan yang satu lagi tanpa kop surat.
Akan tetapi, ketiga versi Super Semar tersebut dianggap palsu karena surat kepresidenan seharusnya berkop padi dan kapas.
Bagaimana proses kelahiran atau penandatanganan Super Semar itu?
Mengutip dari berbagai sumber, awalnya Bung Karno dilarikan ke Istana Bogor setelah Sidang Kabinet Dwikora pada 11 Maret 1966 di Istana Merdeka, Jakarta, dikepung oleh 'pasukan liar' yang kemudian diketahui pasukan Kostrad.
Di Istana Bogor, Bung Karno dihampiri tiga orang jenderal utusan Soeharto.
Ketiga jenderal tersebut ialah Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Panglima Divisi (kini Kodam) Brawijaya, Jawa Timur, Brigadir Jenderal M. Jusuf, Panglima Divisi Hasanuddin, Sulawesi Selatan, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud, Panglima Divisi Jakarta Raya.
Sejarah kemudian mencatat buram apa yang terjadi di Istana Bogor. Yang jelas, sepulang ke Jakarta, ketiga jenderal itu telah mengantongi Super Semar untuk diserahkan kepada Soeharto.
Lalu, bagiamana isinya? Super Semar tidak secara eksplisit menyebut penyerahan kekuasaan dari Bung Karno kepada Soeharto. Bahkan dalam pidatonya pada 17 Agustus 1966, Bung Karno mengecam pihak yang telah mengkhianati perintahnya.
Tidak itu saja, konon Bung Karno juga menerbitkan Surat Perintah 13 Maret 1966 untuk menganulir Super Semar. Bung Karno menekankan Super Semar bukan "transfer of authority” atau peralihan kekuasaan, melainkan sekadar surat perintah.