Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kejar Setoran Pemilu
Bak sopir bajaj, mereka kejar setoran untuk Pemilu 2019, sehingga rambu-rambu pun dilanggar.
Editor: Hasanudin Aco
Pertama, banyak wakil rakyat yang tidak aspiratif. Kedua, kinerja atau produktivitas DPRD/DPR RI sangat rendah.
Ketiga, banyak wakil rakyat yang terlibat korupsi. Politik uang pun dijadikan sarana rakyat untuk “balas dendam” terhadap wakil-wakilnya. Kalau tidak sekarang (jelang pemilu), kapan lagi?
Lalu, berkembanglah anekdot-anekdot seperti “NPWP” (nomer pira wani pira/nomor berapa, berani berapa), “RRI” (rono-rene iya/ke sana ke sini iya) atau “KKO” (kanan kiri oke).
Bahkan menjelang Pemilu 2014 lalu, di sebuah daerah di Jawa Tengah sempat terpasang spanduk bertuliskan, “Di sini menerima serangan fajar”.
Artinya, money politics yang dilarang hukum dan diharamkan agama, sudah dianggap tidak tabu lagi. Di Sumatera ceritanya lebih parah lagi.
Tak hanya legislatif, jabatan ekskutif pun high cost politics, bahkan nominalnya jauh lebih besar lagi. Sejak pemilihan kepala daerah (pilkada) degelar secara langsung tahun 2004 atau sejak era otonomi daerah, banyak kepala daerah terlibat korupsi.
Data Kementerian Dalam Negeri, jumlah kepala daerah yang bermasalah secara hukum sedikitnya 343 orang. KPK sendiri telah menangkap lebih dari 100 kepala daerah.
Data Kemdagri pula, calon bupati atau wali kota butuh dana Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar untuk memenangkan pilkada. Untuk calon gubernur jauh lebih besar lagi, bisa lima atau 10 kali lipat, bahkan bisa sekian kali lipat sesuai jumlah kabupaten/kota di provinsi tersebut.
Pramono Anung Wibowo, mantan Wakil Ketua DPR RI yang kini Menteri/Sekretaris Kabinet, dalam disertasinya pada program doktoral di Universitas Padjadjaran, Bandung, yang kemudian dibukukan berjudul, “Basa Basi Dana Kampanye” mencatat biaya kampanye calon anggota legislatif (caleg) bervariasi mulai dari ratusan juta rupiah hingga Rp 20 miliar.
Pada Pemilu 2009, ada caleg yang mengeluarkan biaya kampanye hingga Rp 20 miliar.
Biaya kampanye caleg bervariasi tergantung popularitas dan profesinya serta kemampuannya meyakinkan masyarakat. Untuk artis dan selebritis sekitar Rp 250 juta hingga Rp 1 miliar.
Untuk aktivis parpol sekitar Rp 600 juta hingga Rp 1,2 miliar, purnawiranan TNI sekitar Rp 800 juta hingga Rp 1,8 miliar, dan pengusaha sekitar Rp 1,8 miliar hingga Rp 6 miliar. Bahkan ada pengusaha yang mengeluarkan biaya kampanye hingga Rp 20 miliar.
Fenomena politik pasca-reformasi sering melibatkan pemilik modal, baik di eksekutif maupun legislatif. Peran pengusaha dalam politik kian intens dan bahkan mendominasi kursi DPR RI pada periode 2009-2014, yakni sekitar 78%.
Periode 2014-2019, jumlah anggota DPR RI berlatar pengusaha tak jauh berbeda. Banyak pula pengusaha terpilih menjadi kepala daerah.