Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kejar Setoran Pemilu
Bak sopir bajaj, mereka kejar setoran untuk Pemilu 2019, sehingga rambu-rambu pun dilanggar.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNNEWS.COM - High cost politics itu menelan “korban” (sekaligus pelaku) lagi.
Setelah Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) M Romahurmuziy, yang juga anggota Komisi XI DPR RI, kini giliran Bowo Sidik Pangarso, anggota Komisi VI DPR RI dari Partai Golkar terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bak sopir bajaj, mereka kejar setoran untuk Pemilu 2019, sehingga rambu-rambu pun dilanggar.
Romy ditangkap, Jumat (15/3/2019), karena menerima suap jual-beli jabatan di Kementerian Agama, Bowo ditangkap, Kamis (28/3/2019), karena merima suap pengangkutan pupuk kerja sama antara PT Pupuk Indonesia Logistik dan PT Humpuss Transportasi Kimia.
KPK menemukan uang suap Bowo senilai Rp 8 miliar dalam pecahan Rp 50.000 dan Rp 20.000 di dalam 400.000 amplop yang disimpan dalam 84 kardus.
Uang itu, kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, hendak digunakan untuk “serangan fajar” Pemilu 2019.
Adapun Romy, KPK menemukan uang suap Rp 300 juta, tapi diyakini itu bukan suap pertama kali. Baik Romy maupun Bowo mencalonkan diri kembali pada Pemilu 2019.
Romy dan Bowo menambah panjang daftar anggota DPR RI yang terlibat korupsi, yakni sekitar 100 orang. Adapun anggota DPRD yang terlibat korupsi mencapai sekitar 3.600 orang.
Diyakini lebih banyak lagi wakil rakyat yang terlibat korupsi. Mereka yang tidak tertangkap karena belum apes saja.
Mengapa legislator “akrab” dengan korupsi? Seperti disinyalir berbagai pihak, termasuk KPK bahkan Romy sendiri, karena politik di Indonesia berbiaya tinggi atau high cost politics.
Untuk biaya kampanye resmi saja sudah cukup besar, misalnya survei, pasang spanduk, baliho, iklan di media massa, tim sukses dan sebagainya.
Belum lagi biaya kampanye tak resmi, misalnya money politics (politik uang) untuk “serangan fajar” yang unlimited (tak terbatas) jumlahnya.
Mengapa money politics begitu marak di Indonesia? Salah satu pemicunya adalah saling tidak percaya antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya. Mengapa itu terjadi?