Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ultraemansipasi dalam Lukisan Kembang Sepatu
Bila emansipasi wanita ini berlebihan, atau katakanlah ultraemasipasi, maka tak baik hasilnya.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tahukah Anda apa itu ultranasionalisme atau paham cinta tanah air yang berlebihan?
Nasionalisme itu baik, tapi kalau berlebihan bahkan cenderung ke chauvinisme, akhirnya menjadi tidak baik.
Yang baik memang yang proporsional atau tepat takaran, bukan yang berlebihan.
Begitu pun emansipasi wanita yang diartikan sebagai proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju.
Bila emansipasi wanita ini berlebihan, atau katakanlah ultraemasipasi, maka tak baik hasilnya.
Keluarga bisa terlantar atau berantakan, karena wanita adalah ratu atau tiang di dalam keluarga. Bila suami dan istri sama-sama maju ke garis depan, maka akan lemah di garis belakang.
Ultraemansipasi itulah yang hendak disampaikan Kembang Sepatu (46) dalam pameran seni lukis bersama empat pelukis lainnya yang bertajuk “Lima Bintang” di Institut Francaise Indonesia (IFI) di Jl Wijaya I/48 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 1-30 April 2019.
Pameran dalam rangka memperingati hari lahir RA Kartini, 21 April 1879, Pahlawan Nasional yang juga pelopor emansipasi wanita Indonesia, ini dibuka oleh Miss Indonesia 2018 Alya Nurshabrina, dan Atase Kebudayaan Perancis Abdramane Kamale, Senin (1/4/2019).
Ada Remy Sylado, penyair yang juga pelukis senior, Ipong Purnama Sidhi, Mas Padhik dan Maria Tiwi yang berkolaborasi dengan Kembang Sepatu dalam pameran yang difasilitasi Kepala IFI Syarah Andriani ini. “Kami adalah bintang-bintang yang selalu bersinar di jagad seni lukis,” ungkap Kembang Sepatu.
Salah satu lukisan yang ditampilkan Kembang Sepatu adalah “Emansipasi” yang langsung dikoleksi Atase Kebudayaan Perancis Abdramane Kamale.
Emansipasi, kata Kembang Sepatu, oleh banyak wanita dimaknai secara tidak benar atau berlebihan.
“Seolah-olah wanita bisa melakukan apa saja. Hal-hal yang tidak pantas sering kali dilakukan oleh wanita atas nama emansipasi. Semua norma diterabas, termasuk dengan melawan kodratnya sendiri,” ujar pelukis kelahiran Limbangan, Ulujami, Pemalang, Jawa Tengah, ini.
Salah satu kodrat wanita, kata Kembang Sepatu, adalah menjadi ibu bagi anak manusia dengan mengandung, melahirkan, menyusui dan mengasuh anak.
Namun, dengan alasan emansipasi, misalnya bekerja kantoran atau sedang menempuh pendidikan, wanita sering kali keberatan untuk menyusui atau memberikan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif kepada bayinya selama enam bulan.
“Bahkan tidak jarang bayi baru berumur dua minggu sudah dititipkan ke pembantu atau pengasuh, dengan dalih ibunya harus bekerja. Mereka lebih mencintai uang daripada bayinya sendiri. Inilah salah satu contoh emansipasi yang kebablasan atau ultraemansipasi,” paparnya sambil menambahkan akibat emansipasi yang kebablasan itu maka banyak keluarga yang berantakan serta banyak pula anak-anak yang terlantar dan kemudian terjerat penyalahgunaan narkotika dan prostitusi.
Lukiasan “Emansipasi” (60 cm x 60 cm, 2019) menggambarkan sesosok perempuan yang berotot layaknya binaragawan Ade Rai dengan hanya mengenakan kaus singlet bercelana pendek jean biru yang resletingnya dibiarkan terbuka, menyiratkan hendak operasi ganti kelamin menjadi laki-laki atau transgender.
Emansipasi tak berarti melanggar kodrat wanita. Emansipasi pun ada batasnya.