Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pancasila Sebagai Ide Leitstar, Penuntun Peradaban Bangsa yang Besar dan Berdaulat
Kebangsaan sebagai landasan mesti dirumuskan kembali secara lebih jelas dalam ujud nyata yakni di dalam Pancasila.
Editor: Rachmat Hidayat
Bung Karno dan para pendiri bangsa lainnya, kemudian memberikan sebuah pengukuhan terhadap dasar identitas nasional yang terbentuk itu dengan memancangkan sebuah prinsip politik yang melengkapi rasa kebangsaan: yakni Pancasila.
Dengan weltanschauung (pandangan hidup) maka Sukarno meletakkan Pancasila sebagai semacam perspektif, yakni cara kita melihat dan memandang dunia.
Sebagai perspektif, maka Pancasila berfungsi secara positif yakni memberikan instrumen untuk memahami realitas, semacam obor penerang atau peta yang memberi arah dan orientasi, semacam jendela di mana dari bidangnya yang terbatas kita mampu menjangkau cakrawala atau horizon yang jauh lebih luas.
Baca: Pancasila Gue Banget, Strategis Merajut Persatuan Anak Bangsa
Pancasila sebagai perspektif ini secara positif diperkuat dan dipertegas dengan konsepsi keduanya yakni sebagai filsafat dasar bernegara. Dengan demikian ia memiliki setidaknya tiga sifat yakni: pertama, memberikan orientasi; kedua, wacana yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional dan dialogis; dan yang ketiga berfungsi kritis.
Dengan menyebut Pancasila sebagai falsafah dasar, maka Bung Karno sekaligus hendak meletakkan Pancasila tidak hanya sebagai nilai-nilai yang memberikan orientasi tetapi juga pijakan untuk memandang dan mentransformasi dunia luar.
Dengan dasar itu Bung Karno memahami Pancasila sebagai ide penuntun atau dalam bahasa Bung Karno sebagai Leitstar, yakni bintang penuntun sekaligus penunjuk arah. Sebagai ide penuntun, maka dalam kehidupan kebangsaan kita, kebebasan berpikir, berpendapat, berpolitik, berekonomi, dan aktualisasi kebudayaan mestilah merujuk pada Pancasila sebagai pedoman.
Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seluruh kebebasan itu dijamin di dalam konstitusi UUD 1945, yang merujuk pada nilai-nilai berpedoman pada nilai-nilai Pancasila.
Baca: Ani Yudhoyono Meninggal di Bulan Suci Ramadan, Tepat di Hari Lahir Pancasila
Ketuhanan, Kemanusiaan, Kesatuan dalam Keberagaman, Kebersamaan dan Demokrasi serta Keadilan Sosial, merupakan nilai-nilai yang menjadi penuntun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ide penuntun berarti memberikan ruang bagi dinamisnya kehidupan politik dan kebangsaan.
Dalam kerangka itu kita meletakkan Pancasila. Sebagai gagasan rujukan dalam membangun politik kebangsaan dan kewargaan kita. Pancasila menjaga nilai-nilai publik sebagai wadah bersama yang menampung keberagaman.
Pancasila adalah pedoman untuk menuntun yang “beragam” atau yang bhinneka. Bhinneka ini adalah representasi dari wajah negara-bangsa yang didasarkan pada keragaman dan perbedaan politik, sosial dan budaya.
Baca: Jokowi Ajak Masyarakat Saling Toleran dan Lawan Paham AntiPancasila
Pancasila merupakan titik-temu dari perbedaan dan keberagaman. Titik temu yang memayungi, bukan menyubordinasi. Relasi subordinasi bukanlah relasi yang ditampilkan oleh prinsip Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila, melainkan relasi mutualisme, yang saling memperkaya, bukan saling meniadakan.
PROJO mengajak seluruh komponen bangsa untuk kembali mengikhtiarkan diri kepada Pancasila sebagai pedoman, sebagai leitstar, sebagai ide penuntun, yang akan memperkukuh fondasi dan peradaban kita sebagai bangsa yang besar dan berdaulat.
Dengan berpedoman pada Pancasila, PROJO meyakini bahwa bangsa Indonesia akan berkembang dan maju, serta memberikan sumbangan besar bagi peradaban dunia sekaligus peradaban kemanusiaan, karena dalam keragaman, kita secara bersama-sama bisa memajukan kehidupan rakyat menuju masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, dan berkepribadian.