Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Novel Baswedan dan Sisifus
Alih-alih menemukan siapa pelaku dan dalang atau aktor intelektual teror, hasil investigasi TGPF justru terkesan menyudutkan Novel.
Editor: Hasanudin Aco
Namun hal tersebut disanggah Ketua KPK Agus Rahardjo karena selama menjalankan tugas, Novel selalu dikontrol pimpinan KPK.
Novel pun ibarat Sisifus yang dituduh mencuri rahasia para dewa. Apa rahasia itu? Mungkin kasus-kasus yang telah, sedang dan akan ia tangani. Mungkin pula kasus-kasus yang diduga melibatkan mantan-mantan koleganya.
Lalu, siapa para “dewa” itu? Mungkinkah orang-orang yang terlibat kasus high profile?
Seperti dilansir sejumlah media, TGPF menyebut ada enam kasus high profile dalam penanganan Novel yang diduga bisa menimbulkan serangan balik, yakni kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) yang antara lain melibatkan mantan Ketua DPR RI Setya Novanto; kasus korupsi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar; kasus dugaan korupsi mantan Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung (MA) Nurhadi; kasus korupsi mantan Bupati Buol Amran Batalipu; dan kasus korupsi proyek Wisma Atlet yang antara lain melibatkan Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum.
Satu kasus lain tidak ditangani Novel sebagai penyidik KPK, tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya keterkaitan dengan penyerangan, yakni penembakan pelaku pencurian sarang burung walet di Bengkulu tahun 2004.
Novel pernah ditetapkan sebagai tersangka dugaan penganiayaan terhadap pencuri sarang burung walet saat ia masih bertugas di Polri.
Benarkah Novel “dikutuk” seperti Sisifus? Yang “dikutuk” mungkin bukan Novel, melainkan kasusnya. Setelah lebih dari 1,5 tahun dalam menangani kasus Novel, Polri seolah hendak mencapai puncak, tiba-tiba terjadi antiklimaks, yakni pelaku teror Novel tak dapat diketemukan.
Polri kemudian membentuk TGPF sekitar enam bulan lalu untuk mengulangi penyelidikan kasus Novel. Ketika TGPF diharapkan mencapai puncak, tiba-tiba terjadi antiklimaks lagi, yakni pelaku teror Novel tak kunjung bisa diketemukan. TGPF kemudian merekomendasikan Polri untuk membentuk tim teknis dalam menangani kasus Novel yang membuat publik kian frustrasi ini.
Polri pun akan membentuk tim teknis lapangan untuk menindaklanjuti laporan TGPF itu, dengan tugas yang masih sama, yakni mengungkap kasus Novel.
Tim teknis lapangan ini akan bekerja paling lambat dalam enam bulan dan bisa diperpanjang masa kerjanya. Tim ini akan dipimpin Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri Komisaris Jenderal Idham Azis. Tim teknis akan melibatkan anggota dengan berbagai kemampuan, misalnya interogator,surveillance, Inafis, hingga Densus 88/Antiteror.
Tak mau nasib kasus Novel seperti batu Sisifus, Amnesty Internasional Indonesia mendesak Presiden Joko Widodo membentuk TGPF independen setelah TGPF yang dibentuk Polri gagal mengungkap pelaku penyiraman air keras terhadap Novel karena diduga ada conflict of interest (konflik kepentingan).
TGPF independen ini langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Novel mengaku jika TGPF independen tersebut dibentuk presiden, maka ia akan mengungkap siapa nama jenderal yang terlibat dalam kasusnya itu.
Akankah Jokowi mengakomodasi desakan ini? Biarlah waktu yang menjawab.
Kuda Troya