Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Quo Vadis UUD 1945?

Pihak lainnya mengusulkan amandemen yang lebih luas, yakni mengembalikan pula kewenangan MPR untuk memilih dan memberhentikan Presiden dan Wapres.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Quo Vadis UUD 1945?
Ist/Tribunnews.com
Dr. Drs. H. Sumaryoto Padmodiningrat, M.M.: Mantan anggota DPR RI / Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta. 

Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat

TRIBUNNEWS.COM - Isu amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kembali mengemuka setelah Kongres V PDI Perjuangan di Bali pekan lalu merekomendasikan amandemen terbatas konstitusi. Amandemen sebatas menyangkut Majelis Permusyawaratan (MPR) RI agar ditetapkan sebagai lembaga tertinggi negara, serta dikembalikan kewenangannya untuk menetapkan UUD dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Pihak lainnya mengusulkan amandemen yang lebih luas, yakni mengembalikan pula kewenangan MPR untuk memilih dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden.

Ada pula yang ekstrem, yang mengusulkan amandemen menyeluruh dengan kembali ke UUD 1945 asli yang disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), lembaga semacam MPR, pada 18 Agustus 1945 atau sehari setelah Indonesia merdeka.

UUD 1945 asli tersebut tak lain adalah yang didekritkan Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 setelah Indonesia sempat menerapkan sistem parlementer dengan UUD Republik Indonesia Serikat (UUD RIS) dan UUD Sementara (UUDS) atau UUD 1950.

Pertanyaannya, quo vadis (mau dibawa ke mana) UUD 1945? Sejak 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku UUD RIS, dan sejak 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS atau UUD 1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR RI pada 22 Juli 1959.

Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami empat kali perubahan (amendemen), yang mengubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan RI.

Berita Rekomendasi

Sebelum dilakukan amendemen, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh yakni 16 bab, 37 pasal, dan 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.

Setelah dilakukan empat kali perubahan, UUD 1945 memiliki 16 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.

Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.

Sekali lagi, quo vadis UUD 1945? Bila kembali ke UUD 1945 asli atau yang disahkan pada 18 Agustus 1945 dan yang didekritkan Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 maka akan terjadi perubahan revolusioner dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, yang kewenangannya mengambil sebagian kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, akan bubar. Begitu pun Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY) yang kewenangannya mengambil sebagian kewenangan Mahkamah Agung (MA).

Dewan Pertimbangan Agung (DPA), yang kini fungsinya digantikan Dewan Pertimbangan Presiden (DPP), akan dihidupkan kembali. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pun akan kembali dilakukan MPR, tak lagi langsung oleh rakyat seperti yang terjadi sejak 2004.

Memang, sejak hasil empat kali amandemen UUD 1945 diberlakukan, kerap terjadi sengketa kewenangan antar-lembaga negara, misalnya antara DPD dan DPR, serta antara MK, KY dan MA.

Begitu pun pemilihan presiden (pilpres) secara langsung berimplikasi pada pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung pula yang terjadi sejak 2004 setelah lahirnya undang-undang otonomi daerah dan undang-undang pemilu, meskipun di dalam konstitusi tak ada keharusan pilkada dilakukan secara langsung.

Padahal bila dicermati lebih dalam, pilpres dan pilkada langsung tersebut tidak sesuai dengan Sila IV Pancasila, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratann/Perwakilan”, yang mengamanatkan pilpres dan pilkada dilakukan secara tak langsung, yakni melalui lembaga permusyawaratan (MPR RI) dan lembaga perwakilan (DPR RI/DPRD).

Pilpres dan pilkada langsung plus pemilu legislatif pun membawa implikasi lanjutan, yakni pragmatisme dan high cost politics atau politik berbiaya tinggi. Rakyat menjadi pragmatis, sehingga ada kecenderungan “KKO” (kanan kiri oke), “RRI” (rono-rene iya), dan “NPWP” (nomer piro wani piro). High cost politics pun tak terelakkan.

Akhirnya terbentuklah lingkaran setan. Bila capres, calon kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) dan calon anggota legislatif atau caleg (DPR RI/DPRD provinsi/DPRD kabupaten/DPRD kota) tidak melakukan money politics, mereka tak akan terpilih.

Agar terpilih karena sudah terlanjur basah mengeluarkan modal banyak, maka pengeluaran berapa pun akan mereka sanggupi. Akibatnya, begitu terpilih yang pertama kali muncul di benak mereka adalah bagaimana caranya agar balik modal. Bahkan bukan sekadar balik modal, melainkan juga mencari modal baru untuk masa pemilihan berikutnya. Segala cara pun dihalalkan, termasuk korupsi.

Terbukti, sejauh ini sudah ratusan anggota dan mantan anggota DPR RI terlibat korupsi. Lebih dari 3.600 anggota DPRD terlibat korupsi. Pun, sudah hampir 400-an kepala daerah dan mantan kepala daerah terlibat korupsi.

Hampir setiap minggu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Toh, mereka tak kapok-kapok juga, karena kekuasaan itu memang cenderung korup, seperti kata Lord Acton (1834-1902), “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely."

Apakah UUD 1945 akan diamendemen untuk kelima kalinya? Bila memang diamendemen, apakah amandemen itu sifatnya terbatas, lebih luas, atau bahkan ekstrem atau kembali ke UUD 1945 yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945 dan yang didekritkan Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959?

Kita tunggu saja tanggal mainnya. Yang jelas, pilpres dan pilkada langsung lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya, yakni rakyat menjadi pragmatis bahkan cenderung mata duitan, serta banyak kepala daerah dan caleg terlibat korupsi.

Bila ada yang berpikir bahwa money politics (politik uang) yang “dinikmati” rakyat dalam pilpres dan pilkada langsung adalah lebih baik daripada money politics yang “dinikmati” anggota MPR RI yang memilih Presiden/Wakil Presiden, atau anggota DPRD yang memilih kepala daerah, mungkin jalan tengahnya adalah dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawasi pilpres dan pilkada, bila kedua pemilihan itu dilakukan secara tak langsung.

Katakanlah sama-sama terjadi money politics, baik dalam pilpres dan pilkada langsung maupun tak langsung, bukankah dalam pilpres dan pilkada tak langsung jumlahnya terbatas atau limited, sedangkan dalam pilpres dan pilkada langsung jumlahnya tak terbatas atau unlimited?

Untuk maju sebagai capres diperlukan modal puluhan triliun rupiah. Untuk menjadi kepala daerah atau caleg diperlukan modal puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Itu baru untuk political cost (ongkos politik), belum untuk money politics.

Quo vadis UUD 1945? Kita serahkan kepada MPR RI. Di tangan merekalah nasib bangsa ini dipertaruhkan.

Dr. Drs. H. Sumaryoto Padmodiningrat, M.M.: Mantan anggota DPR RI / Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas