Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Yang Terlupakan di Papua
Papua memang bak api di dalam sekam. Sedikit saja minyak memercik, api akan langsung menyambar dan kemudian berkobar.
Editor: Hasanudin Aco
Bila pembangunan jiwa dikedepankan, misalnya nasionalisme, atau dalam istilah penulis “Nusantaraisme”, niscaya rasa cinta rakyat Papua akan tanah airnya, Indonesia, tak diragukan lagi, dan tuntutan merdeka yang menjadi pemicu dari semua masalah tak akan lagi ada. Papua pun akan aman, damai, tenteram dan sejahtera.
Tanpa keamanan, pembangunan fisik akan terhalang. Betapa banyak korban, baik sipil maupun TNI/Polri, yang sudah berjatuhan saat pembangunan jalan Trans Papua.
Dengan mencintai Tanah Air, maka rakyat Papua pun akan ikut memiliki (sense of belonging) atas Indonesia, atau dalam bahasa Jawa disebut “melu handarbani”, dan dengan rasa ikut memiliki itu maka akan timbul rasa ikut bertanggung jawab (sense of participating) atau “melu hangkrungkebi” terhadap maju mundurnya rakyat dan wilayah Papua khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Dengan itu, rakyat Papua pun akan ikut menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kerusuhan di Papua terjadi hanya beberapa hari setelah Wapres Jusuf Kalla menyatakan perlunya peningkatan operasi keamanan di Papua pasca-gugurnya Briptu Hedar yang disandera dan ditembak Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), sebutan lain dari Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perburuan terhadap KKB disebut JK tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).
Artinya jelas: security approach (pendekatan keamanan) yang diterapkan pemerintah pusat sejak era Orde Baru hingga kini terhadap Papua sudah tidak cocok lagi sehingga perlu dievaluasi.
Maka prosperity approach atau pendekatan kesejahteraan pun perlu lebih dikedepankan.
Hati rakyat Papua tidak bisa direbut dengan senjata. Hati rakyat Papua tidak bisa diambil dengan pembangunan fisik. Hati rakyat Papua hanya bisa direbut dengan kebesaran jiwa, ketulusan hati dan kasih sayang.
Bukankah prosperity approach juga sudah dilakukan, antara lain melalui dana otsus yang sudah mencapai Rp 100 triliun itu? Lagi-lagi, masih ada yang terlupakan, yakni pembangunan jiwa.
Sudah saatnya pembangunan jiwa rakyat Papua lebih dikedepankan daripada pembangunan fisiknya. Dengan itu, rakyat Papua akan merasa menjadi bagian dari Indonesia, bukan malah menganggap Jakarta sebagai penjajah.
Khusus untuk asrama mahasiswa dari daerah, ke depan hendaknya dihindari penggunaan nama yang bersifat kedaerahan dan kesukuan atau primordialisme karena akan berkonotasi eksklusif.
Hal ini juga pernah terjadi di Yogyakarta semasa Aceh masih bergejolak, yakni Asrama Mahasiswa Aceh. Sebaiknya digunakan nama yang bersifat nasional, misalnya Asrama Mahasiswa Nusantata, sehingga akan inklusif dan lebih mudah terjadi pembauran, dengan demikian maka persatuan dan kesatuan pun akan lebih mudah tercipta. Insya Allah!
Dr. Drs. H. Sumaryoto Padmodiningrat, M.M.: Mantan anggota DPR RI / Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.