Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Yang Terlupakan di Papua
Papua memang bak api di dalam sekam. Sedikit saja minyak memercik, api akan langsung menyambar dan kemudian berkobar.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNNEWS.COM - Ada yang terlupakan di Papua, sehingga bumi Cendrawasih itu terus bergejolak hingga kini.
Teranyar adalah aksi demonstrasi massa yang berujung pada terbakarnya gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua Barat di Mankowari, dan kemudian aksi itu meluas hingga ke Sorong dan Fakfak.
Sebuah pasar tradisional di Fakfak pun ikut terbakar.
Aksi demonstrasi diduga dipicu oleh pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, yang diwarnai dengan pengamanan 43 mahasiswa oleh polisi meski kemudian dilepaskan kembali; juga pernyataan Wakil Walikota Malang, Jatim, Sofyan Edi Jarwoko; serta ini yang paling telak: hoax atau kabar bohong tentang tewasnya seorang mahasiswa di asrama.
Permintaan maaf yang disampaikan Gebernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Walikota Surabaya Tri Rismaharini, Wakil Walikota Malang Sofyan Edi Jarwoko dan pejabat lainnya pun tak mampu membendung amarah yang sudah terlanjur menjadi bara.
Papua memang bak api di dalam sekam. Sedikit saja minyak memercik, api akan langsung menyambar dan kemudian berkobar.
Mengapa Asrama Mahasiswa Papua dikepung massa?
Menurut penuturan Tri Susanti, koordinator lapangan, pengepungan itu dilakukan semata-mata untuk membela bendera Merah Putih.
Pasalnya, bendera Merah Putih yang mereka pasang di halaman asrama menjelang peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 ditemukan tergeletak di selokan dengan tiangnya yang dalam kondisi patah.
Ternyata Tri Susanti adalah calon anggota legislatif (caleg) DPRD dari Partai Gerindra. Apakah aksi pengepungan yang diwarnai dengan umpatan bernada rasis itu memang by design untuk menciptakan kerusuhan?
Kita tidak tahu pasti.
Yang jelas, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menyatakan akan melakukan investigasi atas dugaan Tri Susanti, kadernya itu, menjadi korlap pengepungan asrama.
Polisi juga mestinya melakukan investigasi apakah kerusuhan di Papua itu by design atau tidak.
Dengan itu, polisi akan dapat menentukan pihak-pihak mana saja yang harus bertanggung jawab. Juga akan dapat menjawab pertanyaan, apakah kerusuhan itu memang konspirasi internasional?
Mengapa Papua terus bergejolak? Bukankah pemerintah pusat telah membangun Papua sedemikian rupa?
Papua telah diberikan otonomi khusus (otsus) seluas-luasnya sebagaimana Aceh.
Dana otsus yang sudah digelontorkan pemerintah pusat ke Papua, menurut klaim Wakil Presiden Jusuf Kalla, sudah mencapai sekitar Rp 100 triliun.
Sebaliknya, pemerintah pusat hanya “mengambil” Rp 20 triliun dari Papua, antara lain melalui PT Freeport Indonesia.
Presiden Joko Widodo juga sudah menggenjot pembangunan infrastruktur di Papua.
Jalan perbatasan selebar tujuh meter sepanjang 1.098 kilometer sudah dibangun dari Merauke ke Jayapura, hingga Papua Nugini. Juga jalan Trans Papua sepanjang 4.330 km yang ditargetkan tembus seluruhnya sampai akhir 2019.
Presiden Jokowi juga membangun infrastruktur listrik melalui program “Papua Terang”.
Sejumlah pembangkit listrik dibangun, salah satunya Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) di Jayapura yang diharapkan menambah pasokan listrik di Papua sebesar 50 megawatt, dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 100 kilowatt di Enem yang menerangi desa-desa di pedalaman Papua.
Presiden Jokowi pun membangun Bendungan Baliem di Papua senilai Rp 4,7 triliun.
Tidak itu saja, pemerintahan Jokowi juga membangun fasilitas pendidikan dan kesehatan di Papua, termasuk gedung-gedung sekolah dan rumah sakit serta puskesmas.
Prosperity Approach
Mengapa semua itu tidak cukup bagi masyarakat Papua? Ternyata ada yang terlupakan, yakni amanat syair lagu kebangsaan Indonesia Raya, “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”.
Artinya, selama ini pembangunan Papua lebih berorientasi pada pembangunan fisik, sementara pembangunan jiwa atau karakter seakan terabaikan.
Bila pembangunan jiwa dikedepankan, misalnya nasionalisme, atau dalam istilah penulis “Nusantaraisme”, niscaya rasa cinta rakyat Papua akan tanah airnya, Indonesia, tak diragukan lagi, dan tuntutan merdeka yang menjadi pemicu dari semua masalah tak akan lagi ada. Papua pun akan aman, damai, tenteram dan sejahtera.
Tanpa keamanan, pembangunan fisik akan terhalang. Betapa banyak korban, baik sipil maupun TNI/Polri, yang sudah berjatuhan saat pembangunan jalan Trans Papua.
Dengan mencintai Tanah Air, maka rakyat Papua pun akan ikut memiliki (sense of belonging) atas Indonesia, atau dalam bahasa Jawa disebut “melu handarbani”, dan dengan rasa ikut memiliki itu maka akan timbul rasa ikut bertanggung jawab (sense of participating) atau “melu hangkrungkebi” terhadap maju mundurnya rakyat dan wilayah Papua khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Dengan itu, rakyat Papua pun akan ikut menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kerusuhan di Papua terjadi hanya beberapa hari setelah Wapres Jusuf Kalla menyatakan perlunya peningkatan operasi keamanan di Papua pasca-gugurnya Briptu Hedar yang disandera dan ditembak Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), sebutan lain dari Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perburuan terhadap KKB disebut JK tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).
Artinya jelas: security approach (pendekatan keamanan) yang diterapkan pemerintah pusat sejak era Orde Baru hingga kini terhadap Papua sudah tidak cocok lagi sehingga perlu dievaluasi.
Maka prosperity approach atau pendekatan kesejahteraan pun perlu lebih dikedepankan.
Hati rakyat Papua tidak bisa direbut dengan senjata. Hati rakyat Papua tidak bisa diambil dengan pembangunan fisik. Hati rakyat Papua hanya bisa direbut dengan kebesaran jiwa, ketulusan hati dan kasih sayang.
Bukankah prosperity approach juga sudah dilakukan, antara lain melalui dana otsus yang sudah mencapai Rp 100 triliun itu? Lagi-lagi, masih ada yang terlupakan, yakni pembangunan jiwa.
Sudah saatnya pembangunan jiwa rakyat Papua lebih dikedepankan daripada pembangunan fisiknya. Dengan itu, rakyat Papua akan merasa menjadi bagian dari Indonesia, bukan malah menganggap Jakarta sebagai penjajah.
Khusus untuk asrama mahasiswa dari daerah, ke depan hendaknya dihindari penggunaan nama yang bersifat kedaerahan dan kesukuan atau primordialisme karena akan berkonotasi eksklusif.
Hal ini juga pernah terjadi di Yogyakarta semasa Aceh masih bergejolak, yakni Asrama Mahasiswa Aceh. Sebaiknya digunakan nama yang bersifat nasional, misalnya Asrama Mahasiswa Nusantata, sehingga akan inklusif dan lebih mudah terjadi pembauran, dengan demikian maka persatuan dan kesatuan pun akan lebih mudah tercipta. Insya Allah!
Dr. Drs. H. Sumaryoto Padmodiningrat, M.M.: Mantan anggota DPR RI / Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.